Yesus Hanyalah Sebuah Rekayasa?
Ilmu dan iman kerap tak sejalan. Yang satu mengagungkan nalar, yang lain mengandalkan keyakinan. Ilmu identik dengan keniscayaan, seentara iman identik dengan kemustahilan. Mencoba meniscayakan yang mustahil dan menuhankan yang nalar, siapa pun-termasuk ahli-akan dibuat keblinger.
Proses keblingeran inilah yang sedang dialami para teolog, sejarawan, dan arkeolog bercorakkan gnostisisme berkaitan dengan rekayasa gambaran Yesus yang terus menerus diekspos media. Dimulai dengan penemuan-penemuan kontroversial seputar kehidupan Yesus-Injil Tomas yang berkata keselamatan hanya didapat dari usaha mempersembahkan diri, Injil Filipus dan Injil Maria yang berkata Yesus menikah dengan Maria Magdalena, dan Injil Yudas yang menganakemaskan dan membenarkan tindakan Yudas menyerahkan Yesus. Belum lagi lahirnya kelompok Yesus Seminar (1985) yang didirikan oleh Robert Funk dan John Dominic Crossan. Kelompok yang beranggotakan sekitar 300 orang dari berbagai bidang (sejarawan, teolog, arkeolog, penulis, bahkan produser film) ini mencoba merekonstruksi ulang kehidupan Yesus dan kekristenan di masa-masa awal. Menurut Yesus Seminar, Yesus tidak bangkit dari kubur, tidak pernah berjalan di atas air, juga tidak pernah membangkitkan Lazarus dari kematian. Dan akhirnya penemuan menggemparkan tentang makam Talpiot yang diduga sebagai makam Yesus, istri beserta anaknya. Sejak itu bermacam opini spekulatif bermunculan dan beredar di publik. Yesus menikah-lah, punya anaklah, terlibat skandal seks dengan Maria Magdalenalah, macam-macam lagi. Umat pun dibuat bingung.
Meski sudah banyak sanggahan yang coba diajukan untuk menjawab spekulasi penemuan para ilmuwan tersebut, tetapi menurut Benni E. Matindas, semua tidak menyentuh pada poin yang fundamental. Mengaitkan sains dengan iman inilah yang sering jadi masalah, begitu Ioanes Rakhmat, dosen STT Jakarta menyimpulkan.
Dari Mana Sumber Sejarah Yesus?
Apakah Alkitab yang kita percayai ini menyembunyikan sosok Yesus yang sebenarnya? Sangat mudah untuk berkata "Ya". Terlebih dengan banyaknya penemuan yang mengingkari keilahian Yesus. Namun, Benni Matindas secara kritis mengatakan para ahli yang menilai kekristenan dengan memposisikan diri pada sudut pandang (perspektif) zaman sekarang ini, padahal sedang menilai sejarah Kristen di masa lampau sebenarnya sedang mengalami kekeliruan hermeneutis. Padahal-lanjutnya-bicara tentang sejarah penulisan kisah Yesus harus diletakkan pada skala waktu kekristenan awal, yaitu dua abad pertama Masehi. Dan pada masa itu, tidak seorang pun yang punya kepentingan untuk memalsukan kisah Yesus. Bahkan sebaliknya. Membuang Kristus sama dengan melepas beban berat dan bebas dari aniaya. Kalau ternyata memang ada cerita atau skandal berbau tak sedap tentang Yesus saat itu, pastilah siapa pun, termasuk para rasul, akan dengan senang hati meninggalkan imannya yang memang sudah bikin mereka tersiksa itu.
Hal ini diperkuat Pdt. Yusak Tridarmanto, M.Th. "Kalau kita ingin mencari sumber pasti siapa Yesus sebenarnya, tentulah yang paling logis, kita akan mencari dokumen yang paling dekat waktunya dengan masa hidup Yesus. Dan Injil-injil sinoptik yang diakui Alkitab jelas lebih bisa dipercaya dibandingkan injil-injil koptik yang sekarang diributkan," jelas Dekan Fak. Teologi UKDW ini. Injil sinoptik tertua adalah Injil Markus ditulis tahun 60-70M, Injil Lukas dan Matius tahun 75-80M. Sementara Injil Yohanes sekitar tahun 90-95M. Sedangkan injil-injil koptik baru ditulis sekitar tahun 100-an M. Injil Tomas tahun 180 M, Injil Filipus tahun 170 M, Injil Maria tahun 160 M dan Injil Yudas tahun 120 M. Dari segi usia saja, jelas injil-injil sinoptik jauh lebih bisa dipercaya. Dengan kata lain, masih terlalu dini untuk memercayai semua opini ahli seputar gosip murahan tentang pernikahan Yesus dengan Maria yang melahirkan anak, ataupun isu tentang penemuan makam keluarga Yesus.
Menjawab Gugatan Seputar Kebangkitan Yesus
Satu lagi yang sering membuat para pengritik iman Kristen tidak puas adalah kebangkitan Yesus. Misteri hilangnya mayat Yesus dalam gua batu yang tertutup rapat mengusik nalar para ahli. Mereka mencoba merekayasa kisah kebangkitan itu dengan membuktikan bahwa semuanya itu tidak benar. Makam Talpiot yang baru ditemukan seakan menguatkan opini mereka. Namun, sungguhkah demikian?
Dalam harian Kompas, 5 April 2007, Ioanes Rakhmat menulis, "Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis Perjanjian Baru sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan membeda-kan mana realitas, mana fantasi dan de-lusi. Dalam metafora sebuah kejadian hanya ada dalam pengalaman subyektif, bukan dalam realitas obyektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit dalam memori dan pengalaman hidup diha-diri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: Ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah tubuh rohani, bukan tubuh jasmani protoplasmik." Tulisan ini sempat makin menambah polemik tentang kebangkitan Yesus.
Namun ketika Bahana mewawan-carainya, Ioanes menegaskan bahwa pemikiran tentang makam keluarga Yesus itu harus dipisahkan dari iman gereja. Wilayah ilmu pengetahuan dan iman berjalan sendiri-sendiri. Keduanya tidak perlu dipaksakan harus bertemu. "Iman adalah wilayah sendiri yang tidak mau saya utak-utik. Jadi, saya tidak mau mengaitkannya dengan iman Kristen secara langsung," demikian tegas dosen STT Jakarta ini.
Dan di dunia akademis, sah-sah saja para ahli punya pandangan berbeda. Adji Sutama, editor lepas dan penulis banyak buku maupun artikel teologi berujar di dunia akademis, keilahian Yesus-khususnya di kalangan Yesus Sejarah-memang cenderung ditolak sebab kacamata ahli sekarang sudah serba sekular. Proses deteologisasi dan demirakulisasi mau tak mau terjadi dan hasil akhirnya adalah sosok Yesus tanpa makna teologis. Sosok Yesus akan lebih diberi makna sosial politis.
Pandangan yang berbeda sebenarnya sah-sah saja. Namun, ketika sosok Yesus ini mau dipaksakan sebagai sosok normatik karena dianggap lebih otentik, lebih benar, lebih rasional, dan lebih-lebih lainnya, hal ini harus ditolak sebab tidak sesuai dengan sumber teologi yang sehat, yaitu Kitab Suci, tradisi, pengalaman, dan penalaran, serta normanya: Injil Yesus Kristus. Bahkan Adji meluruskan pendapat miring selama ini tentang penemuan makam Talpiot. "Tidak ada ahli yang berpendapat bahwa makam itu makam keluarga Yesus," tuturnya. Ioanes Rakhmat pun mengakui bahwa peluang makam Talpiot itu sungguh-sungguh makam Yesus masih sekitar 51-85%. Artinya masih belum bisa menjadi kesimpulan. Baru spekulasi.
Lagi pula kalau memang Yesus tidak bangkit, mengapa para rasul mau-maunya mati konyol demi membela sesuatu yang tidak terbukti benar? Pak Yusak juga menanyakan hal yang sama. "Ngapain Petrus mau mati disalib terbalik jika dia tidak benar-benar berjumpa dengan sosok Yesus yang sudah bangkit? Bagi saya, munculnya gereja di mana-mana sekalipun dibakar atau ditutup adalah bukti tentang kuatnya pesan kebangkitan Yesus. Misi kebangkitan itulah yang menjadi kuasa kebangkitan gereja di mana-mana," tuturnya panjang lebar.
Mencari Sensasi Murahan
Kalau belum terbukti, mengapa kita lantas gempar? Masalahnya adalah para ilmuwan itu terlalu cepat mempublikasikan hasil penemuan mereka ke publik, seolah ingin menebar sensasi. "Kalau memang mereka ingin berdebat secara ilmiah, harusnya asumsi mentah para ahli itu tidak langsung dilempar ke publik atau diekspos via Discovery Channel, misalkan. Kan bisa lewat debat forum atau jurnal ilmiah. Lha ini di forum ilmiah saja masih diragukan, kok ya langsung dipublikasikan lewat media massa. Apa itu bukan mencari sensasi namanya?" demikian Herlianto menggugat dalam sebuah situs.
Kekecewaan senada juga diutarakan Adji Sutama. Seharusnya ilmuwan lebih berhati-hati melemparkan penemuan yang belum dikaji benar tidaknya. Apalagi ke umat yang notabene kaum awam. "Bagaimanapun, meluruskan benang kusut di lingkup publik jauh lebih sulit ketimbang mengoreksi pendapat ilmuwan di jurnal ilmiah," lanjutnya. Tampaknya penemuan bombastis tentang kehidupan pribadi Yesus yang sebelumnya begitu diyakini beberapa ahli (terutama dari golongan gnostik) justru membuat mereka keblinger sendiri. Yah, sejauh ini yang nampak justru fakta bahwa yang pinter-pinter pun akhirnya juga keblinger jika diperhadapkan pada misteri kehidupan Yesus. Lha, kalau yang pinter saja keblinger, ngapain kita-umat biasa-ikut-ikutan?
Proses keblingeran inilah yang sedang dialami para teolog, sejarawan, dan arkeolog bercorakkan gnostisisme berkaitan dengan rekayasa gambaran Yesus yang terus menerus diekspos media. Dimulai dengan penemuan-penemuan kontroversial seputar kehidupan Yesus-Injil Tomas yang berkata keselamatan hanya didapat dari usaha mempersembahkan diri, Injil Filipus dan Injil Maria yang berkata Yesus menikah dengan Maria Magdalena, dan Injil Yudas yang menganakemaskan dan membenarkan tindakan Yudas menyerahkan Yesus. Belum lagi lahirnya kelompok Yesus Seminar (1985) yang didirikan oleh Robert Funk dan John Dominic Crossan. Kelompok yang beranggotakan sekitar 300 orang dari berbagai bidang (sejarawan, teolog, arkeolog, penulis, bahkan produser film) ini mencoba merekonstruksi ulang kehidupan Yesus dan kekristenan di masa-masa awal. Menurut Yesus Seminar, Yesus tidak bangkit dari kubur, tidak pernah berjalan di atas air, juga tidak pernah membangkitkan Lazarus dari kematian. Dan akhirnya penemuan menggemparkan tentang makam Talpiot yang diduga sebagai makam Yesus, istri beserta anaknya. Sejak itu bermacam opini spekulatif bermunculan dan beredar di publik. Yesus menikah-lah, punya anaklah, terlibat skandal seks dengan Maria Magdalenalah, macam-macam lagi. Umat pun dibuat bingung.
Meski sudah banyak sanggahan yang coba diajukan untuk menjawab spekulasi penemuan para ilmuwan tersebut, tetapi menurut Benni E. Matindas, semua tidak menyentuh pada poin yang fundamental. Mengaitkan sains dengan iman inilah yang sering jadi masalah, begitu Ioanes Rakhmat, dosen STT Jakarta menyimpulkan.
Dari Mana Sumber Sejarah Yesus?
Apakah Alkitab yang kita percayai ini menyembunyikan sosok Yesus yang sebenarnya? Sangat mudah untuk berkata "Ya". Terlebih dengan banyaknya penemuan yang mengingkari keilahian Yesus. Namun, Benni Matindas secara kritis mengatakan para ahli yang menilai kekristenan dengan memposisikan diri pada sudut pandang (perspektif) zaman sekarang ini, padahal sedang menilai sejarah Kristen di masa lampau sebenarnya sedang mengalami kekeliruan hermeneutis. Padahal-lanjutnya-bicara tentang sejarah penulisan kisah Yesus harus diletakkan pada skala waktu kekristenan awal, yaitu dua abad pertama Masehi. Dan pada masa itu, tidak seorang pun yang punya kepentingan untuk memalsukan kisah Yesus. Bahkan sebaliknya. Membuang Kristus sama dengan melepas beban berat dan bebas dari aniaya. Kalau ternyata memang ada cerita atau skandal berbau tak sedap tentang Yesus saat itu, pastilah siapa pun, termasuk para rasul, akan dengan senang hati meninggalkan imannya yang memang sudah bikin mereka tersiksa itu.
Hal ini diperkuat Pdt. Yusak Tridarmanto, M.Th. "Kalau kita ingin mencari sumber pasti siapa Yesus sebenarnya, tentulah yang paling logis, kita akan mencari dokumen yang paling dekat waktunya dengan masa hidup Yesus. Dan Injil-injil sinoptik yang diakui Alkitab jelas lebih bisa dipercaya dibandingkan injil-injil koptik yang sekarang diributkan," jelas Dekan Fak. Teologi UKDW ini. Injil sinoptik tertua adalah Injil Markus ditulis tahun 60-70M, Injil Lukas dan Matius tahun 75-80M. Sementara Injil Yohanes sekitar tahun 90-95M. Sedangkan injil-injil koptik baru ditulis sekitar tahun 100-an M. Injil Tomas tahun 180 M, Injil Filipus tahun 170 M, Injil Maria tahun 160 M dan Injil Yudas tahun 120 M. Dari segi usia saja, jelas injil-injil sinoptik jauh lebih bisa dipercaya. Dengan kata lain, masih terlalu dini untuk memercayai semua opini ahli seputar gosip murahan tentang pernikahan Yesus dengan Maria yang melahirkan anak, ataupun isu tentang penemuan makam keluarga Yesus.
Menjawab Gugatan Seputar Kebangkitan Yesus
Satu lagi yang sering membuat para pengritik iman Kristen tidak puas adalah kebangkitan Yesus. Misteri hilangnya mayat Yesus dalam gua batu yang tertutup rapat mengusik nalar para ahli. Mereka mencoba merekayasa kisah kebangkitan itu dengan membuktikan bahwa semuanya itu tidak benar. Makam Talpiot yang baru ditemukan seakan menguatkan opini mereka. Namun, sungguhkah demikian?
Dalam harian Kompas, 5 April 2007, Ioanes Rakhmat menulis, "Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis Perjanjian Baru sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan membeda-kan mana realitas, mana fantasi dan de-lusi. Dalam metafora sebuah kejadian hanya ada dalam pengalaman subyektif, bukan dalam realitas obyektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit dalam memori dan pengalaman hidup diha-diri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: Ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah tubuh rohani, bukan tubuh jasmani protoplasmik." Tulisan ini sempat makin menambah polemik tentang kebangkitan Yesus.
Namun ketika Bahana mewawan-carainya, Ioanes menegaskan bahwa pemikiran tentang makam keluarga Yesus itu harus dipisahkan dari iman gereja. Wilayah ilmu pengetahuan dan iman berjalan sendiri-sendiri. Keduanya tidak perlu dipaksakan harus bertemu. "Iman adalah wilayah sendiri yang tidak mau saya utak-utik. Jadi, saya tidak mau mengaitkannya dengan iman Kristen secara langsung," demikian tegas dosen STT Jakarta ini.
Dan di dunia akademis, sah-sah saja para ahli punya pandangan berbeda. Adji Sutama, editor lepas dan penulis banyak buku maupun artikel teologi berujar di dunia akademis, keilahian Yesus-khususnya di kalangan Yesus Sejarah-memang cenderung ditolak sebab kacamata ahli sekarang sudah serba sekular. Proses deteologisasi dan demirakulisasi mau tak mau terjadi dan hasil akhirnya adalah sosok Yesus tanpa makna teologis. Sosok Yesus akan lebih diberi makna sosial politis.
Pandangan yang berbeda sebenarnya sah-sah saja. Namun, ketika sosok Yesus ini mau dipaksakan sebagai sosok normatik karena dianggap lebih otentik, lebih benar, lebih rasional, dan lebih-lebih lainnya, hal ini harus ditolak sebab tidak sesuai dengan sumber teologi yang sehat, yaitu Kitab Suci, tradisi, pengalaman, dan penalaran, serta normanya: Injil Yesus Kristus. Bahkan Adji meluruskan pendapat miring selama ini tentang penemuan makam Talpiot. "Tidak ada ahli yang berpendapat bahwa makam itu makam keluarga Yesus," tuturnya. Ioanes Rakhmat pun mengakui bahwa peluang makam Talpiot itu sungguh-sungguh makam Yesus masih sekitar 51-85%. Artinya masih belum bisa menjadi kesimpulan. Baru spekulasi.
Lagi pula kalau memang Yesus tidak bangkit, mengapa para rasul mau-maunya mati konyol demi membela sesuatu yang tidak terbukti benar? Pak Yusak juga menanyakan hal yang sama. "Ngapain Petrus mau mati disalib terbalik jika dia tidak benar-benar berjumpa dengan sosok Yesus yang sudah bangkit? Bagi saya, munculnya gereja di mana-mana sekalipun dibakar atau ditutup adalah bukti tentang kuatnya pesan kebangkitan Yesus. Misi kebangkitan itulah yang menjadi kuasa kebangkitan gereja di mana-mana," tuturnya panjang lebar.
Mencari Sensasi Murahan
Kalau belum terbukti, mengapa kita lantas gempar? Masalahnya adalah para ilmuwan itu terlalu cepat mempublikasikan hasil penemuan mereka ke publik, seolah ingin menebar sensasi. "Kalau memang mereka ingin berdebat secara ilmiah, harusnya asumsi mentah para ahli itu tidak langsung dilempar ke publik atau diekspos via Discovery Channel, misalkan. Kan bisa lewat debat forum atau jurnal ilmiah. Lha ini di forum ilmiah saja masih diragukan, kok ya langsung dipublikasikan lewat media massa. Apa itu bukan mencari sensasi namanya?" demikian Herlianto menggugat dalam sebuah situs.
Kekecewaan senada juga diutarakan Adji Sutama. Seharusnya ilmuwan lebih berhati-hati melemparkan penemuan yang belum dikaji benar tidaknya. Apalagi ke umat yang notabene kaum awam. "Bagaimanapun, meluruskan benang kusut di lingkup publik jauh lebih sulit ketimbang mengoreksi pendapat ilmuwan di jurnal ilmiah," lanjutnya. Tampaknya penemuan bombastis tentang kehidupan pribadi Yesus yang sebelumnya begitu diyakini beberapa ahli (terutama dari golongan gnostik) justru membuat mereka keblinger sendiri. Yah, sejauh ini yang nampak justru fakta bahwa yang pinter-pinter pun akhirnya juga keblinger jika diperhadapkan pada misteri kehidupan Yesus. Lha, kalau yang pinter saja keblinger, ngapain kita-umat biasa-ikut-ikutan?
Artikel Terkait :
~ Jawaban.com ~