Jangan Ge-Er!


Seekor keledai betina muda yang ditunggangi oleh seseorang, berjalan memasuki kota Yerusalem. Begitu menginjak gerbang kota, alangkah terkejut si keledai atas gegap-gempita orang yang menyambut. Luar biasa meriah. Ia melihat betapa penduduk kota itu rela menghamparkan pakaiannya di atas jalanan yang akan dilaluinya.

“Ahaaa.. saya baru tahu sekarang betapa berharganya saya bagi mereka,” begitu si keledai. “Sebegitu hormatnya manusia-manusia ini kepadaku, sampai mereka merelakan pakaiannya untuk di-jadikan alas. Sehingga kakiku yang indah ini tidak kotor terkena debu jalanan.”

Tumpah ruah di jalanan, pendu-duk kota menyongsong dengan penuh antusias sambil melambai-lambaikan daun palem. Sepanjang jalan terdengar sorak-sorai serta salam hormat, “Hosana!... Hosana!”. Maka si keledai membusungkan dadanya seraya berjalan dengan penuh wibawa bak presiden yang sedang memeriksa barisan. Sepanjang jalan, ia mengangguk-anggukkan kepalanya dengan anggun sambil membalas salam itu. “Terima kasih… terima kasih…”. Begitu ujarnya berulang-ulang sembari menoleh ke kiri dan ke kanan.

Belum selesai sampai di situ. Kali ini kebingungannya bertambah-tambah tatkala mendengar penduduk berseru, “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja!”. Si keledai muda langsung terhenyak, ”Hah, apa?! Raja?... Jadi, saya ini rajanya mereka, toh?” Begitu pikirnya. “Pantas saja mereka menyambutku demikian.” Lalu teringatlah dia akan segala ketidakadilan yang dialaminya selama ini. “Kurang ajar benar kalau selama ini saya diperlakukan oleh pemi-lik saya sebagai keledai kampung yang hanya mendapat pelayanan apa adanya. Belum tahu dia siapa saya!”

Saat kebanggaannya sudah ham-pir sampai di ubun-ubun, tiba-tiba sang penunggang turun dari punggung si keledai, lalu melangkahkan kakinya menuju ke bait Allah. Kerumunan orang yang tadipun berbondong-bondong segera mengikuti arah langkah sang penunggang itu. Kini tinggallah si keledai itu celingukan sendirian, tanpa ada seorang manusia pun yang berdiri di dekatnya. Kemeriahan terhenti. Sorak soraipun senyap. Barulah ia sadar, bahwa sambutan meriah yang barusan itu ternyata bukanlah ditujukan buat dia, tapi buat penunggangnya... Aah, betapa malunya si keledai yang ge-er ini!

Kita mungkin bisa tersenyum membaca kisah ini. Tapi tanpa disadari, kitapun sering bersikap geer seperti si keledai itu. Kita memasuki pelayanan dengan menebarkan segenap kharisma dan talenta yang kita miliki, lalu kitapun mendengar sorak-sorai dan pujian. Biasanya kita jadi bangga, dan merasa layak atas pujian itu. Kita sering lupa bahwa kita hanyalah ‘seekor keledai’, dan pujian itu sebenarnya adalah milik Tuhan yang sedang menunggang di punggung kita. Jangan ge-er!

Terhadap orang-orang yang gemar bermegah akan kehebatannya, serta menyepelekan peranan Allah dalam hidupnya, Alkitab mengibaratkannya sebagai kapak yang memegahkan diri terhadap orang yang memakainya, atau gergaji yang membesarkan diri terhadap orang yang mempergunakannya (Yes. 10:15a). Kapak dan gergaji memang powerful untuk merubuhkan pohon yang besar, namun hanya apabila sedang berada di tangan orang yang ahli.

Dalam kisah keledai tadi, seharus-nya si keledai betina muda itu mengucap syukur, karena sekalipun bukanlah yang terkuat dan yang tercantik, ia satu-satunya yang terpilih di antara seluruh populasi keledai yang ada pada saat itu di Palestina untuk dijadikan tunggangan Sang Maha Raja (Luk. 19:30). Demikianlah kita, bila kita telah diberi kesempatan dan dipilih untuk menjadi alatnya, itu bukanlah karena keunggulan kita, tapi semata-mata hanya karena anugerah-Nya. Sebuah kehormatan yang patut kita syukuri.



~ bahana ~





AddThis Social Bookmark Button