BISNIS NARKOBA DAN TEORI KIYOSAKI

Oleh : Augustinus Simanjuntak, S.H., M.H.
(dosen Hukum Bisnis di Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra, Surabaya ; kandidat doktor ilmu hukum di Universitas Airlangga—UNAIR, Surabaya ; anggota jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya {digembalakan oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.})

Bisnis narkoba benar-benar bertumbuh pesat di kota Metropolis. Satu per satu pabrik narkoba besar berhasil diungkap oleh kepolisian. Mulai dari kasus Hangky Gunawan di Perumahan Graha Famili (Juni 2006) yang mampu memproduksi 88 ribu butir ekstasi (Nopember 2005 hingga Januari 2006), kasus Handoko di Jalan Nginden Intan Timur dan Manyar Tirtoyoso (Juni 2006) dengan barang bukti 6 kg sabu-sabu, dan kasus Setiawan Budi di Taman Internasional I Perumahan Citra Raya (April 2007) yang mampu memproduksi 60 kg sabu-sabu.

Kasus terheboh dan tergolong terbesar yang berhasil diungkap oleh kepolisian di Surabaya ialah kasus pabrik ekstasi Graha Famili jilid II (28 Juli) yang bisa memproduksi 27 ribu butir ekstasi per minggu. Tiga peracik ekstasi berhasil ditangkap dan dijadikan tersangka, yaitu Andi Setiawan, Andreas Hartanto, dan Agus Wigijono.

Belum selesai keprihatinan warga Metropolis atas terbongkarnya pabrik-pabrik ekstasi tersebut, kepolisian kembali mengungkap dua pabrik ekstasi sekaligus, yaitu di perumahan Istana Candi Mas Sidoarjo dan di Kisi Gempol Pasuruan. Lima orang tersangka berhasil ditangkap (Gogong Kusnul Yakin, Yoyok Setio Utomo, Gunawan Triatmoko, Tri Rekso Dindarto, Sumardi Hardjito).

Barang bukti yang berhasil disita berupa puluhan jenis bahan kimia untuk memproduksi sabu-sabu yang siap diolah (Jawa Pos, 2/8).

Kita tentu sangat heran, mengapa bisnis narkoba bertubuh begitu pesat di Surabaya dan sekitarnya? Jawabannya bisa saja beragam. Dari segi hukum, misalnya, maraknya kejahatan narkoba tidak bisa dilepaskan dari ringannya vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap para pelakunya. Dengan kata lain, penegakan hukum belum bisa memberikan efek jera terhadap para pelaku sekaligus belum bisa membuat rasa takut bagi warga yang berpotensi melakukannya.

Menyitir pandangan kriminolog Noach bahwa kejahatan (narkoba) tidak mungkin bisa dihilangkan dari masyarakat. Tindakan yang mungkin bisa dilakukan oleh negara dan masyarakat adalah mengurangi atau membatasinya.

Pemikiran Noach tersebut sejalan dengan pandangan kriminolog Frank Tannembaum yang mengatakan: Crime is eternal - as eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Kalau begitu, secara ontologis, apa sebenarnya akar pertumbuhan kejahatan narkoba di Metropolis?

Akibat Kurang Uang ?

Robert T. Kiyosaki dalam bukunya berjudul Rich Dad, Poor Dad membuka tulisannya dengan dua pilihan asumsi dasar yang menjadi landasan pemikirannya, terutama dalam menyikapi akar kejahatan. Ia menulis: Aku punya dua ayah. Ayah yang pertama mengatakan "cinta uang adalah akar kejahatan". Sedangkan ayah yang kedua mengatakan "kurang uang adalah akar kejahatan".

Selanjutnya, Kiyosaki mengatakan: Aku tidak mungkin mengikuti keduanya sekaligus. Bila aku mengikuti ayah yang satu maka aku melawan ayah yang lainnya. Jadi, aku harus memilih, dan aku memilih ayah yang kedua (kurang uang adalah akar kejahatan).

Implikasinya, kejahatan narkoba di Metropolis muncul dan berkembang akibat faktor ekonomi atau kurangnya uang dari para pelakunya. Oleh karena itu, pemberantasan kejahatan narkoba bisa dilakukan dengan perbaikan ekonomi masyarakat. Menciptakan orang-orang kaya baru merupakan solusi efektif dalam mengatasi kejahatan narkoba. Benarkah demikian?

Titik kelemahan pemikiran Kyosaki terletak pada pemaknaan yang tidak jelas antara "cinta uang" dengan "kurang uang". Kalau dipahami dari segi makna cinta, maka cinta uang adalah suatu keinginan atau hasrat yang mendalam untuk memiliki uang, bahkan rela mengorbankan apa saja untuk meraihnya.

Sayangnya, objek cinta yang seharusnya ditujukan kepada sesama manusia justru ditujukan kepada benda mati (uang). Objek cinta yang salah merupakan suatu penyimpangan dan bisa menjadi akar perilaku menyimpang.

Seperti halnya seseorang yang rela berbuat apa pun demi cinta, demikianlah orang yang cinta uang. Ia rela mempertaruhkan integritas atau harga dirinya demi uang. Ia tidak lagi berpikir bahwa memproduksi dan menjual narkoba bisa merusak masyarakat dan bisa membuatnya masuk penjara. Apalagi omset bisnis narkoba bisa mencapai jutaan hingga milyaran rupiah.

Dengan demikian, sungguh ironis jika seseorang berani berbuat apa saja, termasuk berbisnis narkoba, hanya karena tergila-gila terhadap uang. Nilai hidupnya seolah sudah melekat pada uang, sehingga bagi dia kemiskinan materi merupakan suatu kehinaan. Disadari atau tidak, produsen narkoba seolah sudah menjadi hamba uang untuk melakukan tindak kriminal.

Dalam positioning yang demikian itulah terbukti bahwa cinta uang merupakan akar kejahatan. Pola pikirnya ialah, bagaimana meraih uang banyak dengan cepat tanpa memikirkan bagaimana caranya (cara benar atau tidak). Para penjahat narkoba seolah tidak peduli meskipun ulahnya telah merusak masa depan banyak generasi muda.

Dari sisi konsumen, seorang kecanduan narkoba bisa saja karena iseng, diajak teman, atau karena tekanan hidup di perkotaan. Ketika mereka membutuhkan narkoba, di saat itulah mereka menghamburkan uang untuk membelinya. Para pecandu narkoba tidak memandang usia, strata sosial, dan tingkat ekonomi. Tidak sedikit orang berduit justru terlibat dalam penggunaan narkoba. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang kurang uang.

Di kota ini banyak orang yang kurang uang tetapi tidak berarti mereka menjadi otomatis sebagai penjahat. Kalau kejahatan timbul karena kurang uang maka sebanyak 37,17 juta penduduk miskin Indonesia (data BPS 2007) akan berubah menjadi penjahat. Namun kenyataannya tidak demikian. Justru, sebaliknya, orang yang tak cukup banyak materi bisa lebih banyak belajar tentang makna hidup ketimbang orang yang kaya materi tanpa melalui usaha keras, apalagi jika kekayaannya itu berasal dari kejahatan narkoba.

Manusia tidak seharusnya mau diperbudak oleh uang, akan tetapi uang harus ditempatkan sebagai alat manusia untuk membantu memaknai hidup yang sesungguhnya di dalam kebenaran, keadilan, dan keindahan. Namun demikian, uang juga tidak seharusnya dijadikan sebagai alat untuk menindas orang lain demi tujuan retire young atau pensiun muda (meminjam istilah Kiyosaki).

Alternatif Solusi

Kejahatan narkoba tidak bisa diatasi dengan kecukupan uang yang sifatnya sangat relatif. Justru pola pikir cinta uanglah penyebab banyaknya manusia melakukan kejahatan narkoba, termasuk pula perilaku korupsi di pemerintahan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Uang tanpa cinta tidak akan pernah memuaskan rasa 'cinta uang', akan tetapi mencintai dan dicintai sesama manusia bisa membuat orang puas tanpa harus membelinya dengan uang.

Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir warga masyarakat tentang hidup. Perlu ditanamkan sejak dini bahwa hidup berhasil itu perlu proses pembelajaran, kerja keras, dan pengorbanan secara benar. Penanaman pola pikir yang benar akan berperan dalam meluruskan potensi penyalahgunaan narkoba di masyarakat.

Selain itu, tekanan psikis di perkotaan acapkali menjadi pemicu banyaknya warga Metropolis yang terjerumus ke dalam penggunaan narkoba. Semakin banyak warga yang stres maka pasar konsumen narkoba di kota ini semakin luas pula.

Kondisi inilah yang mendorong lahirnya produsen-produsen narkoba baru di tengah masih lemahnya upaya penegakan hukum. Untuk itu, pemerintah dan pihak swasta perlu menciptakan suasana yang bisa mengurangi tingkat stres warga kota.



~ Salib.net ~





AddThis Social Bookmark Button