Renungan Pagi (762)
Yoh 8:44 Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.
Orang-orang Yahudi adalah komunitas yang sangat religius. Mereka benar-benar menjaga hidup mereka sesuai dengan Taurat, bahkan melebih-lebihkannya, di mana segala aspek hidup mereka diatur menurut hukum Allah. Bahkan di saat perang seperti sekarang ini, beberapa rabbi masih menyatakan untuk menegakkan hukum Taurat yang mengharuskan menyelamatkan orang, sekalipun itu berarti menaruh resiko lebih besar pada tentara Israel yang berperang. Di jaman Tuhan Yesus hidup dahulu, aturan Taurat dipegang lebih kuat lagi, lebih menyeluruh dan lengkap. Sejak dari lahir sampai meninggal, orang harus mengikuti hukum Taurat.
Maka, menjadi hal yang amat menyinggung, ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa sebenarnya iblis yang menjadi bapa dari orang-orang ini, padahal mereka menyebut diri anak-anak Abraham. Bayangkan jika kita berada posisi itu. Bukankah kita dilahirkan dari keluarga Kristen, dibesarkan dengan cara hidup Kristen, mendapat pendidikan Kristen sejak kecil, dan semua komunitas di sekitar kita adalah juga orang Kristen? Seandainya Tuhan Yesus mengatakan bahwa yang menjadi bapa kita adalah iblis, bagaimana? Reaksi pertama mungkin --hampir pasti-- adalah ketidakpercayaan. Sekalipun kita tahu bahwa Ia mengatakan kebenaran, kita tidak mau percaya pada-Nya, karena kebenaran itu menyakitkan. Kebenaran itu membuka borok dan luka yang mau kita sembunyikan.
Pagi ini, mari kita renungkan. Orang bisa menjadi "Kristen" tetapi sebenarnya ia hidup di dalam dusta. Ia berdusta pada dirinya sendiri, pada orang terdekat, pada lingkungan di sekitarnya. Ia bisa bersikap religius dan memenuhi semua aturan dan liturgi, tapi hatinya sama sekali tidak mengasihi Allah. Ia mendustai diri sendiri, mengatakan dan menyanyikan bahwa "saya cinta Yesus", tapi isi hatinya sama sekali kosong, tiada kasih apa pun di sana. Perbuatannya hanya untuk dilihat dan dikomentari orang lain, agar dapat menerima pengakuan dan penghargaan orang lain. Itulah anak Iblis yang mengikuti bapanya dan berdusta atas keinginannya sendiri. Semoga, kita tidak seperti demikian!
Menjadi Anak Allah berarti menerima kebenaran dan menyatakannya, sekalipun hal itu menyakitkan, hingga menerangi segala kebenaran yang tersembunyi.
Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny
~ Milis - renungan-sehari ~
![]()