MENJAGA HATI
“Maaf pak, saya minta ijin tidak masuk sampai hari Senin karena kurang sehat.”
“Begitu ya? Ya sudah … sampai Senin ya?”
Begitulah percakapan MB dengan boss-nya di hari Rabu minggu lalu. Sebenarnya, MB baru saja diterima bekerja di perusahaan itu setelah perusahaan tempatnya bekerja sebelum ini bangkrut. Tapi baru sehari bekerja, kebetulan badannya kurang sehat sehingga atas nasihat dokter supaya beristirahat tiga hari dulu. Menurut MB, sewaktu menutup telepon, nada suara boss terdengar kurang senang.
Ketika hari Senin berikutnya MB masuk kerja, suasananya memang belum ramai. Perusahaan ini juga perusahaan yang masih baru, oleh karena itu karyawannya juga tidak banyak dan mereka pun semua baru mulai bekerja disana, hanya saja yang lain sudah bekerja satu minggu dimuka.
“Hi, sudah sehat ya? Selamat kembali bekerja. Oya, minggu lalu ada pembagian HP lho dari boss, jatah kamu ada juga kok ... nanti tanyakan saja sama beliau” sambut seorang rekannya.
Haa? Dapat HP baru dari kantor? Sepertinya asyik juga. Soalnya HP yang dipakainya sudah model lama banget. Memang sih masih bisa bekerja dengan baik, toh jarang dipakai untuk sms karena MB lebih suka menelpon langsung saja. Bentuknya memang besar (maklum HP jaman dulu), layar belum berwarna, ringtone tidak polifonik, tidak ada kamera pula ... jadi jangan tanya isinya, ya cuma ada phonebook saja, itu pun jumlahnya terbatas. Keunggulan HP nya dibanding HP jaman sekarang cuma tidak ada yang mau pungut kalaupun tertinggal; atau bisa buat nimpuk maling di jalan.
Tetapi lewat beberapa hari kemudian, boss tidak pernah menyinggung-nyinggung soal jatah HP untuk MB. Jadi lama-lama timbul sedikit rasa iri atau kurang senang karena merasa diperlakukan tidak sama dengan yang lain. Namun, terpikirkan juga untuk tetap bersabar, barangkali boss masih kurang senang gara-gara dirinya tidak masuk kerja minggu lalu.
Hari Rabu, dua hari setelah itu, kebetulan kantornya sedang sepi. Boss tidak ke kantor pagi itu tapi langsung pergi meeting di luar. Karyawan bagian marketing dan operasional yang tugas luar sudah berangkat semua, sedangkan seorang bagian sekretaris tidak masuk. Jadi kebetulan siang itu MB hanya sendiri di kantornya ketika si boss menelepon ke kantor.
“Dimana sekretaris kita? Kenapa saya telepon ke HP-nya tidak diangkat-angkat?” (dengan nada sangat tidak sabar)
“Oh, tidak masuk pak. Saya tinggal sendiri di kantor”
“Lho? Tidak masuk? Wah ya sudah. Apa ada hal yang penting perlu dilaporkan ke saya hari ini?”
“Begitu ya? Ya sudah … sampai Senin ya?”
Begitulah percakapan MB dengan boss-nya di hari Rabu minggu lalu. Sebenarnya, MB baru saja diterima bekerja di perusahaan itu setelah perusahaan tempatnya bekerja sebelum ini bangkrut. Tapi baru sehari bekerja, kebetulan badannya kurang sehat sehingga atas nasihat dokter supaya beristirahat tiga hari dulu. Menurut MB, sewaktu menutup telepon, nada suara boss terdengar kurang senang.
Ketika hari Senin berikutnya MB masuk kerja, suasananya memang belum ramai. Perusahaan ini juga perusahaan yang masih baru, oleh karena itu karyawannya juga tidak banyak dan mereka pun semua baru mulai bekerja disana, hanya saja yang lain sudah bekerja satu minggu dimuka.
“Hi, sudah sehat ya? Selamat kembali bekerja. Oya, minggu lalu ada pembagian HP lho dari boss, jatah kamu ada juga kok ... nanti tanyakan saja sama beliau” sambut seorang rekannya.
Haa? Dapat HP baru dari kantor? Sepertinya asyik juga. Soalnya HP yang dipakainya sudah model lama banget. Memang sih masih bisa bekerja dengan baik, toh jarang dipakai untuk sms karena MB lebih suka menelpon langsung saja. Bentuknya memang besar (maklum HP jaman dulu), layar belum berwarna, ringtone tidak polifonik, tidak ada kamera pula ... jadi jangan tanya isinya, ya cuma ada phonebook saja, itu pun jumlahnya terbatas. Keunggulan HP nya dibanding HP jaman sekarang cuma tidak ada yang mau pungut kalaupun tertinggal; atau bisa buat nimpuk maling di jalan.
Tetapi lewat beberapa hari kemudian, boss tidak pernah menyinggung-nyinggung soal jatah HP untuk MB. Jadi lama-lama timbul sedikit rasa iri atau kurang senang karena merasa diperlakukan tidak sama dengan yang lain. Namun, terpikirkan juga untuk tetap bersabar, barangkali boss masih kurang senang gara-gara dirinya tidak masuk kerja minggu lalu.
Hari Rabu, dua hari setelah itu, kebetulan kantornya sedang sepi. Boss tidak ke kantor pagi itu tapi langsung pergi meeting di luar. Karyawan bagian marketing dan operasional yang tugas luar sudah berangkat semua, sedangkan seorang bagian sekretaris tidak masuk. Jadi kebetulan siang itu MB hanya sendiri di kantornya ketika si boss menelepon ke kantor.
“Dimana sekretaris kita? Kenapa saya telepon ke HP-nya tidak diangkat-angkat?” (dengan nada sangat tidak sabar)
“Oh, tidak masuk pak. Saya tinggal sendiri di kantor”
“Lho? Tidak masuk? Wah ya sudah. Apa ada hal yang penting perlu dilaporkan ke saya hari ini?”
“Belum ada pak, semua masih berjalan dengan baik.”
Kira-kira seperti itu percakapan MB dengan bossnya seperti dikisahkannya pada saya kemarin malam. Siang itu, MB berpikir bahwa dia sebenarnya beruntung tidak mendapat pembagian HP dari kantor. Kalo saja dia dapat, pasti si boss sebentar-sebentar sudah nelpon. Jangan-jangan di luar waktu-waktu kantor pun boss bakal seenaknya menelpon memberi perintah. Ya sudah, relakan saja hati karena tidak dapat HP karena sebenarnya keadaan malah lebih tenang bukan?
MB melanjutkan kisahnya, sore itu setelah pulang kantor dan beristirahat sejenak, MB dan istrinya pergi menjemput istri saya untuk bersama-sama latihan vocal group di gereja. Kebetulan hari itu saya sedang di Kalimantan untuk tugas kantor sehingga tidak dapat ikut latihan. Nah, karena hari itu adalah hari ulang tahun MB maka saya sudah janjian dengan istri saya, bahwa nanti kalau sudah dijemput tolong kasih tahu saya supaya saya bisa segera menelpon untuk mengucapkan selamat.
Anda tahu kenapa saya tidak langsung menelepon pagi itu? Kan sebenarnya mengucapkan selamat ulang tahun tidak harus menunggu sampai sore hari, bukan? Karena saya dan istri sepakat untuk membelikan MB sebuah HP baru, beberapa hari sebelumnya; jadi saya ingin membuat surprise MB yaitu menelpon dari Kalimantan ke HP yang baru yang masih di dalam bungkus kado itu.
Balik lagi ke kisah MB, jadi sore itu setelah istri saya dijemput dan berada di dalam mobilnya, kasih ucapan selamat ulang tahun, mohon maaf atas nama saya karena tidak dapat hadir langsung, lalu menyerahkan bingkisan. Bingkisan kado tentu tidak langsung dibuka; budaya kita di Timur kan sungkan untuk membuka bingkisan di depan orang yang memberi kecuali atas permintaan yang memberi. Nah, setelah itu istri saya sms ke saya kalau kado sudah diberikan, jadi tidak lama kemudian ada suara panggilan HP di dalam bingkisan tersebut.
“Ko, itu diangkat dooong?” kata istri saya seraya menunjuk bungkusan kado yang berdering-dering.
“Aduh, kamu itu apa-apaan sih? Duh, ngasih apaan sih ini?” jawab ci R, istrinya MB. Rupanya R langsung sadar apa itu isi kado buat suaminya.
Istri saya melaporkan, sore itu MB terlihat senang sekali. (Siapa sih yang tidak senang dapat HP baru?). Tapi ternyata ada hal lain yang membuat hati MB senang. Hal itu baru diceritakan kemarin malam. Yaitu, sebenarnya HP yang dibagikan untuk rekan-rekan sekantornya modelnya sama persis dengan yang kami berikan! Bedanya adalah, ketika teman-temannya menerima HP itu berarti mudah diperintah-perintah boss di luar jam kerja, sedangkan dia tidak punya kewajiban itu karena HP-nya bukan milik kantor tapi milik sendiri.
Hal kedua, bahwa MB menyadari ketika hatinya kemudian merelakan bahwa tidak mendapat HP dari kantor itu tidak apa-apa, ternyata Tuhan menggantinya dan memberikannya sebagai hadiah ulang tahun. Bahkan, kalau mau dihitung, sebenarnya Tuhan sudah menyiapkan hal itu beberapa hari sebelumnya kan? Seandainya saja Tuhan tidak menggerakkan hati kami, mungkin kami belum tentu memilih HP sebagai hadiah ulang tahun MB, kami kan bisa saja membelikan barang yang lain seperti kemeja atau jam tangan misalnya?
Kemarin malam, saya merenungkan kisah MB itu. Saya menangkap dua point penting yang terjadi melalui kisah tersebut. Pertama, kita haruslah menjaga hati kita benar-benar bersih (bahkan dari rasa iri yang kecil) supaya Tuhan bisa bekerja memberikan berkat. Kedua, saya mengucap syukur karena Tuhan sudah pakai saya dan istri untuk menjadi saluran berkat-Nya, ini sebuah anugerah.
Apa yang bisa kita bawa ke dunia dan kesurga? HATI KITA.
Karena itu jagalah hati kita dengan segala kewaspadaan karena dari sanalah kehidupan terpancar.
September 20, 2007
Leonard Han
~ elia stories ~