Kisah Para Martir di Negeri China
Siapa tak kenal negeri China? Di negeri ini bambu bertumbuh dengan suburnya. Tak salah jika China dijuluki negara Tirai Bambu. Selain itu, hanya di China juga binatang Panda bisa beranak pinak sangat ba-nyak. China pun dijuluki Negeri Panda. Di bidang ekonomi, China adalah salah satu macan Asia. Kita tentu sangat familiar dengan produk-produk mereka yang membanjiri pasar kita. Di bidang pertumbuhan penduduk, China mendapat julukan negeri semiliar jiwa. Di bidang pengetahuan, China sudah disegani sejak dahulu kala. Tak heran pepatah Arab mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.
Sayangnya, China sempat mencatat masa kelam dalam kekristenan. Dulu di China hampir setiap hari orang-orang Kristen dikejar-kejar, diburu-buru dan kalau tertangkap, mereka pasti dicerca, disiksa, dan didera sampai nyawa pun tak bersisa di raga. Akibatnya, orang-orang Kristen di China selalu bersembunyi untuk beribadah. Gua, celah-celah perbukitan dan kadang-kadang ruang bawah tanah menjadi tempat ibadah yang layak untuk mereka. Langkanya Alkitab membuat Alkitab yang ada harus dirobek-robek dan dibagi lembar demi lembar kepada setiap jemaat yang ada. Minggu depannya baru lembar itu ditukarkan dengan saudara seiman yang lain. Tak heran jika banyak orang Kristen di China yang hanya menghapal ayat sepenggal-sepenggal. Karena memang kenyataannya demikian. Dapat selembar halaman Alkitab saja mereka sudah bersorak kegirangan.
Meskipun fakta dan kebenaran tentang penderitaan orang-orang Kristen di sana sudah berlalu bersama waktu, toh kebenaran tak bisa dibungkam. Suatu saat, ia akan bersuara dengan lantang. Inilah beberapa martir dari ribuan martir yang telah membayar China dengan darah dan nyawa mereka.
Ngen Do Man: Pendeta yang ditusuk 13 kali
26 Januari 1991. Tampaknya inilah saat akhir bagi Ngen Do Man merasakan panasnya matahari yang saban hari menyengat ubun-ubun. Siang itu, ia sedang menikmati perjalanan. Siulan kecil keluar dari bibirnya. Ia sedang gembira. Sebentar lagi, ia bertemu saudara-saudara seiman. Ngen Do memang hendak mengajarkan Injil ke sebuah ibadah rumah yang tersembunyi di balik bukit. Bukan sekali ini ia melakukan perjalanan sejauh itu.
Sebagai seorang pendeta dan penginjil, ia tahu negerinya tidaklah ramah. Ia sadar nyawanya bisa terancam kapan saja. Tapi Ngen Do Man tak mau gemetar dalam gentar. Tiga tahun mengikut Kristus bukanlah waktu yang lama. Tapi ia sudah memenangkan 200 jiwa lebih dan membawa mereka hidup dalam pengenalan akan Kristus. Tak heran, Ngen Do di cari-cari dan dikejar laksana buron kelas kakap. Tapi Tuhan begitu murah hati. Tiga tahun dia gesit melarikan diri. Tak sekalipun ketahuan. Tapi misteri ajal, tak satu pun bisa memecahkan. Dalam perjalanannya kali ini, Ngen Do dikepung oleh beberapa orang komunis. Mereka sepertinya sudah mengintai gerak-gerik Ngen Do dengan saksama.
Di pinggir jalan itu, Ngen Do tiba-tiba terkesima. Belasan orang berwajah sangar berdiri tegap dengan senjata tergenggam erat di tangan. Ngen Do tahu waktunya telah tiba. Ia tak melawan sedikit pun. Ia hanya berdoa dalam hatinya. "Tuhan, terima kasih aku boleh mendapatkan kehormatan mati demi memperjuangkan nama-Mu. Ampunilah mereka. Jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka." Ngen Do memandang mereka satu per satu. Itulah hari terakhir ia bisa memandang sesamanya. Siang itu di bawah teriknya matahari, Ngen Do diserbu dan disiksa dengan kejam. Tanpa ampun, ia ditusuk 13 kali. Ngen Do tewas seketika, tanpa sempat menyampaikan salam perpisahan kepada istri dan anak perempuannya.
Siao-Mei: Si kecil yang ikut dipenjara
China, 1991. Masa kecil harusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negerinya. Yang ia tahu, ibunya selalu mengajarkan lagu-lagu indah tentang kasih Yesus. Ia tak banyak mengerti mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Kitab Suci dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga belum terlalu tahu bahayanya menjadi seorang Kristen di negaranya. Siao-Mei kecil memang tak perlu banyak tahu.
Seperti hari itu. Ia tak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang berjeruji besi. Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Siao-Mei kecil bertanya pada ibunya. Ibunya diam seribu bahasa. Hanya mengelus-elus punggungnya. Siao-Mei tidak mengerti bahwa Ibunya ditangkap karena menolak menyangkal iman. Yang ia tahu, perutnya sangat lapar. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan.
Kepala penjara yang melihat hal itu mencibir ibu Siao-Mei. "Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kau melakukan hal itu, kau dan anakmu ini akan bebas." Putus asa, ibu Siao-Mei pun setuju menyangkal iman sebagai Kristen agar ia dan anaknya dilepaskan. Syaratnya Ibu Siao-Mei harus berteriak di panggung di hadapan 10.000 orang, "Saya tidak lagi menjadi orang Kristen." Tak berpikir panjang, Ibu Siao-Mei pun melakukannya. Mereka akhirnya diizinkan pulang.
Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, "Ma, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu." Ibu Siao-Mei berusaha menjelaskan. "Mama melihat kamu menangis di penjara. Mama terpaksa melakukan itu karena Mama sayang padamu. Mama tidak mau melihat kamu menangis, Siao-Mei." Mendengar itu Siao-Mei kecil mendongak kepada ibunya. "Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi." Mendengar hal itu Ibu Siao-Mei kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun, kali ini Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya kepada ibunya. Entah sampai kapan mereka dipenjara. Tapi tangisan Siao-Mei tak lagi terdengar di sana.
Lai Manping: tewas tak tahan siksaan
Tahun 1994, sebuah gereja rumah di Taoyuan, provinsi Saanxi diserang ketika sedang menjalankan ibadah. Dua orang perempuan muda Kristen tak berhasil melarikan diri. Salah seorang dikenal bernama Lai Manping. Ia baru berusia 20 tahun. Mereka pun dipukul dengan kejam. Mereka ditaruh di atas kompor, dan batu gerinda yang seberat 59kg diletakkan di atas punggung mereka. Lalu mereka dipukuli dengan tongkat. Pakaian mereka dilepas. Dan (maaf) pantat mereka dilecut dengan cambuk yang ujungnya berkait. Segumpal daging terlepas dari pantat mereka. Darah segar langsung mengucur deras.
Tak tahan disiksa dan dipukuli, Manping akhirnya tewas mengenaskan. Kantong kolekte yang berdarah dibuang begitu saja diatas mayatnya. Sementara teman perempuannya yang lain dibawa langsung ke penjara. Setelah para penyik-sanya pergi, diam-diam seorang Kristen yang lain mengambil mayat Manping dan segera menguburkannya tanpa ada upacara apa pun.
Membayar dengan nyawa
Ngen Do Man, Siao-Mei dan Lai Manping hanyalah segelintir orang Kristen yang mengalami penderitaan. Selain mereka, masih ada ratusan bahkan ribuan martir yang juga dibunuh dengan keji di China hanya karena enggan mengingkari iman. Tapi seperti pepatah katakan, semakin dihambat, iman sejatinya semakin bertumbuh pesat. Darah martir itu membawa kebangunan rohani yang spektakuler. Kini, China dikenal sebagai salah satu tempat dimana kekristenan bertumbuh dengan pesat. Sebuah harga yang setimpal dengandarah ribuan martir yang tertumpah untuk membasuh negeri China.
Sumber: Foxe’s Book of Martyrs
~ jawaban.com ~Sayangnya, China sempat mencatat masa kelam dalam kekristenan. Dulu di China hampir setiap hari orang-orang Kristen dikejar-kejar, diburu-buru dan kalau tertangkap, mereka pasti dicerca, disiksa, dan didera sampai nyawa pun tak bersisa di raga. Akibatnya, orang-orang Kristen di China selalu bersembunyi untuk beribadah. Gua, celah-celah perbukitan dan kadang-kadang ruang bawah tanah menjadi tempat ibadah yang layak untuk mereka. Langkanya Alkitab membuat Alkitab yang ada harus dirobek-robek dan dibagi lembar demi lembar kepada setiap jemaat yang ada. Minggu depannya baru lembar itu ditukarkan dengan saudara seiman yang lain. Tak heran jika banyak orang Kristen di China yang hanya menghapal ayat sepenggal-sepenggal. Karena memang kenyataannya demikian. Dapat selembar halaman Alkitab saja mereka sudah bersorak kegirangan.
Meskipun fakta dan kebenaran tentang penderitaan orang-orang Kristen di sana sudah berlalu bersama waktu, toh kebenaran tak bisa dibungkam. Suatu saat, ia akan bersuara dengan lantang. Inilah beberapa martir dari ribuan martir yang telah membayar China dengan darah dan nyawa mereka.
Ngen Do Man: Pendeta yang ditusuk 13 kali
26 Januari 1991. Tampaknya inilah saat akhir bagi Ngen Do Man merasakan panasnya matahari yang saban hari menyengat ubun-ubun. Siang itu, ia sedang menikmati perjalanan. Siulan kecil keluar dari bibirnya. Ia sedang gembira. Sebentar lagi, ia bertemu saudara-saudara seiman. Ngen Do memang hendak mengajarkan Injil ke sebuah ibadah rumah yang tersembunyi di balik bukit. Bukan sekali ini ia melakukan perjalanan sejauh itu.
Sebagai seorang pendeta dan penginjil, ia tahu negerinya tidaklah ramah. Ia sadar nyawanya bisa terancam kapan saja. Tapi Ngen Do Man tak mau gemetar dalam gentar. Tiga tahun mengikut Kristus bukanlah waktu yang lama. Tapi ia sudah memenangkan 200 jiwa lebih dan membawa mereka hidup dalam pengenalan akan Kristus. Tak heran, Ngen Do di cari-cari dan dikejar laksana buron kelas kakap. Tapi Tuhan begitu murah hati. Tiga tahun dia gesit melarikan diri. Tak sekalipun ketahuan. Tapi misteri ajal, tak satu pun bisa memecahkan. Dalam perjalanannya kali ini, Ngen Do dikepung oleh beberapa orang komunis. Mereka sepertinya sudah mengintai gerak-gerik Ngen Do dengan saksama.
Di pinggir jalan itu, Ngen Do tiba-tiba terkesima. Belasan orang berwajah sangar berdiri tegap dengan senjata tergenggam erat di tangan. Ngen Do tahu waktunya telah tiba. Ia tak melawan sedikit pun. Ia hanya berdoa dalam hatinya. "Tuhan, terima kasih aku boleh mendapatkan kehormatan mati demi memperjuangkan nama-Mu. Ampunilah mereka. Jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka." Ngen Do memandang mereka satu per satu. Itulah hari terakhir ia bisa memandang sesamanya. Siang itu di bawah teriknya matahari, Ngen Do diserbu dan disiksa dengan kejam. Tanpa ampun, ia ditusuk 13 kali. Ngen Do tewas seketika, tanpa sempat menyampaikan salam perpisahan kepada istri dan anak perempuannya.
Siao-Mei: Si kecil yang ikut dipenjara
China, 1991. Masa kecil harusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negerinya. Yang ia tahu, ibunya selalu mengajarkan lagu-lagu indah tentang kasih Yesus. Ia tak banyak mengerti mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Kitab Suci dengan sembunyi-sembunyi. Ia juga belum terlalu tahu bahayanya menjadi seorang Kristen di negaranya. Siao-Mei kecil memang tak perlu banyak tahu.
Seperti hari itu. Ia tak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang berjeruji besi. Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Siao-Mei kecil bertanya pada ibunya. Ibunya diam seribu bahasa. Hanya mengelus-elus punggungnya. Siao-Mei tidak mengerti bahwa Ibunya ditangkap karena menolak menyangkal iman. Yang ia tahu, perutnya sangat lapar. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan.
Kepala penjara yang melihat hal itu mencibir ibu Siao-Mei. "Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kau melakukan hal itu, kau dan anakmu ini akan bebas." Putus asa, ibu Siao-Mei pun setuju menyangkal iman sebagai Kristen agar ia dan anaknya dilepaskan. Syaratnya Ibu Siao-Mei harus berteriak di panggung di hadapan 10.000 orang, "Saya tidak lagi menjadi orang Kristen." Tak berpikir panjang, Ibu Siao-Mei pun melakukannya. Mereka akhirnya diizinkan pulang.
Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, "Ma, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu." Ibu Siao-Mei berusaha menjelaskan. "Mama melihat kamu menangis di penjara. Mama terpaksa melakukan itu karena Mama sayang padamu. Mama tidak mau melihat kamu menangis, Siao-Mei." Mendengar itu Siao-Mei kecil mendongak kepada ibunya. "Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi." Mendengar hal itu Ibu Siao-Mei kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun, kali ini Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya kepada ibunya. Entah sampai kapan mereka dipenjara. Tapi tangisan Siao-Mei tak lagi terdengar di sana.
Lai Manping: tewas tak tahan siksaan
Tahun 1994, sebuah gereja rumah di Taoyuan, provinsi Saanxi diserang ketika sedang menjalankan ibadah. Dua orang perempuan muda Kristen tak berhasil melarikan diri. Salah seorang dikenal bernama Lai Manping. Ia baru berusia 20 tahun. Mereka pun dipukul dengan kejam. Mereka ditaruh di atas kompor, dan batu gerinda yang seberat 59kg diletakkan di atas punggung mereka. Lalu mereka dipukuli dengan tongkat. Pakaian mereka dilepas. Dan (maaf) pantat mereka dilecut dengan cambuk yang ujungnya berkait. Segumpal daging terlepas dari pantat mereka. Darah segar langsung mengucur deras.
Tak tahan disiksa dan dipukuli, Manping akhirnya tewas mengenaskan. Kantong kolekte yang berdarah dibuang begitu saja diatas mayatnya. Sementara teman perempuannya yang lain dibawa langsung ke penjara. Setelah para penyik-sanya pergi, diam-diam seorang Kristen yang lain mengambil mayat Manping dan segera menguburkannya tanpa ada upacara apa pun.
Membayar dengan nyawa
Ngen Do Man, Siao-Mei dan Lai Manping hanyalah segelintir orang Kristen yang mengalami penderitaan. Selain mereka, masih ada ratusan bahkan ribuan martir yang juga dibunuh dengan keji di China hanya karena enggan mengingkari iman. Tapi seperti pepatah katakan, semakin dihambat, iman sejatinya semakin bertumbuh pesat. Darah martir itu membawa kebangunan rohani yang spektakuler. Kini, China dikenal sebagai salah satu tempat dimana kekristenan bertumbuh dengan pesat. Sebuah harga yang setimpal dengandarah ribuan martir yang tertumpah untuk membasuh negeri China.
Sumber: Foxe’s Book of Martyrs