Graham dan Gladys Staines - Menaklukkan India dengan Cinta

Malam kian larut pada 22 Januari 1999, di Manoharpur, India. Sebuah desa terpencil, tersembunyi di lekukan perbukitan Keonjhar. Jauh dari peradaban. Ber-jarak 250 km dari kota terdekat, Orissa. Senyap dan gelap. Nyaris tak terdengar suara. Selain nyanyian binatang malam dan dentuman tabla (alat musik tradisional India) yang dimainkan sekelompok pemuda mengiringi liukan tarian tradisional, Dhangri.

Di bagian belakang mobil station wagon Willys, Graham Staines (59) beserta kedua anaknya Philip (11) dan Timothy (7) baru saja melakukan “ritual tetap” sebelum tidur. Mobil itu selalu menjadi tempat tinggal Graham dan anak-anak setiap kali mereka ke luar kota. Seperti biasa, Graham berbagi cerita tentang kebaikan Tuhan pada kedua anaknya. Dan, cerita itu selalu ditanggapi anak-anak dengan an-tusias. Setelah itu, Philip dan Timothy bergantian berdoa.

Hari yang sangat melelahkan. Mereka melakukan perjalanan panjang menembus perbukitan terjal. Graham, sang ayah, memimpin acara Bible Camp tahunan yang diadakan di desa terpencil itu. Saat sang ayah mengajar, Philip dan Timothy berlarian, berkeliling dan bermain bersama anak-anak desa. Kelelahan menyerbu tubuh mereka. Maka, suara ritmis dentuman tabla itu segera membuat mereka pulas.

Malam makin tua. Kali ini, benar-benar senyap. Dentuman drum dan hentakan kaki para penari lenyap. Mungkin, mereka juga sudah lelap. Namun, kesunyian itu tak berumur lama. Segerombolan pemuda, kira-kira 60 orang jumlahnya, menembus gelap. Di tangan mereka tergenggam senjata kapak dan trisula. Melewati ladang-ladang, merangsek mendekati mobil Graham. Saat sampai di depan mobil Graham, mereka berteriak, “Serbu!!!”

Dara Singh, sang pemimpin, memulai penyerangan. Tangan kekarnya, mengayunkan kapak ke ban mobil. Meninggalkan robekan yang menganga lebar. Yang lain, melempari mobil dengan batu. Merangsek masuk, merusak pintu mobil menggunakan tongkat besi. Dan, juga menghantam jendela. Graham segera bangun, memeluk kedua anaknya dan berharap ada celah untuk lari. Terlambat! Para penyerang sudah berdiri tepat di hadapannya. Tanpa ampun, merekamenghujani tubuh tiga orang itu dengan tinju dan pukulan bertubi-tubi. Darah mengucur deras dari kepala. Sekujur tubuh penuh dengan lebam. Nafas pun tersengal-sengal. Mereka nyaris pingsan. Masih tak puas, dengan buas mereka menikam tubuh tiga orang itu dengan trisula. Berkali-kali. “Ahhh.....” teriak kesakitan Graham dan ketiga anaknya tak lagi mereka pedulikan.

Seakan tak puas melihat penderitaan Graham, Singh lalu turun dari mobil. Ia membuat tumpukan jerami di bawah mobil dan membakarnya. Dalam waktu singkat, mobil misionaris yang dikasihi oleh rakyat India itu terbungkus api. Dari jendela terlihat Graham dan kedua anaknya saling berpelukan. Lolongan kesakitan memecah keheningan malam itu. Graham dan kedua anaknya mengerang keras kala api mulai menjilati tubuh mereka. Bau daging terbakar segera menguar. Teman-teman Graham hanya bisa terpekur menyaksikan sahabat yang sangat mereka kasihi itu terpanggang hidup-hidup. Ketika api mulai membakar mobil, salah seorang dari mereka langsung mengambil air dan hendak memadamkan api. Namun, ia langsung ditangkap dan dipukuli oleh pengikut Singh.

Tak seorang pun berani mendekat. Singh dan pengikutnya menunggu hingga mobil itu tersisa menjadi bangkai. Baru setelah gerombolan pergi, mereka berlari menuju ke station wagon itu. Hanya kerangka mobil hangus terbakar, asap dan tiga mayat berpelukan yang sulit dikenali lagi yang mereka temukan. Tubuh itu...milik Graham, Philip, dan Timothy.

PECINTA PENDERITA LEPRA

Hidup Graham Staines, pria kelahiran Queensland, Australia itu berakhir di negeri yang sangat dicintainya, India. Tepat di bulan kematiannya, Januari 1999, Graham telah mengabdikan hidup untuk penderita lepra di India selama 35 tahun. Graham tumbuh di keluarga injili yang saleh. Panggilan melayani untuk memberi kasih bagi yang tersisih, tumbuh di hatinya sejak usia 16 tahun. Selama beberapa tahun, panggilan itu ia gumuli. Setelah sekolah Alkitab selama dua tahun, ia meninggalkan semua kenyamanan hidup di Australia untuk hidup bersama pende-rita lepra di Baripada, Orissa, India.

Graham menapakkan kakinya di India, tepat di usianya yang ke-24 pada 18 Januari 1965. Segeralah, pria tinggi besar yang dikenal cerdas, simpatik, dan penuh empati itu mengerahkan semua talenta-nya. Ia betul-betul mengekspresikan kasih Kristus pada orang-orang yang tersisih itu. Penderita lepra di India adalah orang-orang yang terbuang. Jangankan mengobati, mendekati saja ogah. Takut tertular. Ketika mereka minta sedekah, orang-orang malah melempari dengan batu. Ada stigma kuat bahwa penyakit lepra adalah akibat dari karma. ”Para pe-mimpin agama kami bilang bahwa kami pantas menderita lepra karena karma. Kami telah melakukan banyak dosa di kehidupan kami sebelumnya. Dan, kami sering dibiarkan mati sendirian di dalam hutan. Namun kemudian datanglah DadaStaines, mereka mengulurkan tangan dengan penuh kasih. Di sanalah, kami melihat kasih Allah, ” saksi salah seorang penderita.

Ya, dengan penuh kasih, Graham membasuh, membalut, dan merawat luka-luka mereka di Rumah Misi Penderita Lepra. Setelah sembuh, mereka kemudian dibekali dengan berbagai ketrampilan supaya dapat hidup mandiri. Graham selalu mendorong mereka untuk hidup baik dan berpikir positif. Graham begitu melebur dengan hidup orang-orang yang dilayaninya. Ia menguasai tiga bahasa tradisional: Ho, Santhali, Oriya. Pada orang-orang yang dilayani itu, Graham juga mengajarkan tentang kasih Tuhan. Tahun 1983, Graham menikahi Gladys dan Tuhan mengaruniakan tiga anak: Esther (14), Timothy (11), Philip (7). Graham juga mengajari anak-anak itu dengan bahasa lokal. Tanpa canggung, mereka bergaul dengan anak-anak para penderita lepra. Semua orang di Baripada sangat mencintai Graham.

Swami Agnivesh, salah satu pemimpin agama yang terkenal begitu terkesan dengan Graham, “Sangat terlihat, Graham dan keluarganya sudah total melebur dengan penduduk lokal. Mereka bisa bahasa Santhali. Sangat kontras de-ngan para elit kami yang justru menghina bahasa lokal. Mereka juga membiarkan anak-anaknya bermain dengan anak-anak para penderita kusta!”

Kasih tulus Graham dan keluar-ganya menyentuh hati mereka. Dalam melayani, Graham selalu menekankan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah perwujudan kasih Tuhan pada hidup mereka. Orang-orang yang terbuang itu pun mulai mencari dan memercayai Tuhan. Supaya firman Tuhan lebih mudah dipahami, Graham menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Ho. Orang-orang memanggil Graham dengan Bada Dadaor yang artinya, saudara tua.

Pelayanan Graham berbuah. Makin banyak orang datang pada Kristus. Graham merintis berdirinya 21 gereja. Masyarakat lokal yang terinspirasi oleh pelayanannya telah mendirikan hampir 30 gereja kecil. Gereja-gereja tumbuh subur di India. Kenyataan ini membuat gerah kaum fundamentalis. Sudah sejak lama, mereka mengincar Graham.

Penyerangan terhadap gereja dan pengikut Kristus kerap terjadi. Sejak tahun 1986 hingga 1998, sudah terjadi 60 kali penyerangan terhadap gereja-gereja Kristen di India. Ketegangan itu mulai menjalar di desa Manoharpur. Di desa terpencil itu, Graham juga mendirikan Rumah Penderita Lepra.Di situ pula, setiap tahun Graham mengadakan Bible Camp. Graham tidak merasa khawatir. Ia selalu ikut ke mana pun Tuhan mengutusnya. Termasuk ke daerah berbahaya seperti Manoharpur.Graham berkomitmen, ia akan mengabdikan seluruh hidup dan keluarganya untuk para penderita lepra di India. Dan, terbukti komitmen itu telah ia penuhi. Hidupnya berakhir, kala ia sedang melakukan tugas pelayanan.

PENGAMPUNAN MEMBAWA PENYEMBUHAN

Kematian Graham dan penganiayaan yang terjadi di India justru membuat Injil tersebar begitu pesat. Terlebih lagi kesaksian Gladys dan Esther, bahwa mereka telah mengampuni para pembunuh. Pernyataan itu menjadi headline di setiap koran India. ”Saya tidak mengalami kepahitan. Atau marah. Saya hanya punya satu keinginan besar bahwa setiap orang di negeri ini punya hubungan pribadi dengan Yesus Kristus yang telah menyerahkan hidupnya untuk dosa kita. Mari kita matikan rasa benci dan sebarkan cinta kasih Kristus,” ujar Gladys.

Alih-alih meninggalkan India, mereka justru akan meneruskan apa yang sudah dirintis oleh Graham. Gladys dan Esther pun mengabdikan hidupnya untuk pada penderita lepra di India. Kenyataan ini mengundang rasa penasaran sekaligus kekaguman rakyat India. Bagaimana mungkin mereka bisa mengampuni para pembunuh suami, ayah, anak, dan saudara mereka? Mengapa mereka mau tinggal dan melayani orang miskin? Siapakah Tuhan yang mereka percayai? Apakah benar Yesus itu ada?

Dari situlah, banyak orang menjadi percaya pada Kristus. Pada Januari 2005, pemerintah India menganugerahkan penghargaan Padma Shri pada Gladys atas pengabdiannya pada rakyat India. Ya, sama seperti Yesus, Graham dan Gladys telah menaklukkan India dengan cinta. Darah Graham telah menyuburkan kekristenan di India. Saat jiwa telah lenyap dari raga, cinta itu tetap menggelora.


~ Bahana ~




AddThis Social Bookmark Button