SEORANG PEJUANG NURANI HUKUM
Kisah Prof. Dr. J.E. Sahetapy: Kesederhanaan, kejujuran dan keteladanannya membuat apa yang dikatakannya menjadi lebih bernilai dan berbobot serta rasa kebenarannya menjadi sangat nyata. Beliau lahir di Saparua, Maluku, 6 Juni 1932. Ayahnya seorang guru dan ibunya seorang guru juga.
Tapi ketika masih kecil, Sahetapy sudah harus menghadapi masalah pelik. Kedua orang tua yang dicintainya harus berpisah. Pasalnya, ayahnya suka main judi, ibunya minta cerai akibat tidak tahan menanggung beban. Kemudian sang ibu, Nona C.A. Tomasowa, menikah lagi dengan W.A. Lokollo setelah berpisah ± 12 tahun dengan suaminya. Namun demikian, Sahetapy kecil selalu rajin belajar. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar yang didirikan ibunya sendiri yakni Particuliere Saparuasche School. Dari ibunya yang sekaligus gurunya itulah Sahetapy banyak belajar nasionalisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Tapi akibat meletusnya perang pada tahun 1942, sekolahnya sempat terputus menjelang akhir kelulusannya. Empat tahun berikutnya, 1947, barulah ia kembali ke sekolah sampai lulus Sekolah Dasar. Lalu ia pun masuk SM dengan kurikulum 4 tahun. Menjelang lulus, peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan) meledak. Akhirnya Sahetapy pindah ke Surabaya, bergabung dengan kakaknya, A.J. Tuhusula-Sahetapy. Di kota Pahlawan itulah ia menamatkan SMA.
Setamat SMA, sebenarnya ia tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Namun ibunya tidak sependapat. Selain itu, ada pula yang menawarinya masuk sekolah pendeta, tapi ibu pun tidak setuju. Akhirnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya (yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Airlangga).
Semasa kuliah, Sahetapy termasuk mahasiswa yang cerdas. Ia juga menguasai bahasa Belanda. Tak heran bila kemudian ia dipercaya menjadi asisten dosen untuk matakuliah hukum perdata di fakultasnya. Kepercayaan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga ketika itu Profesor Gondo-wardoyo, tidak hanya sampai di situ. Bahkan begitu Sahetapy lulus kuliah, ia ditawari kuliah di Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Ia pun menyelesaikan studinya di AS dalam dua tahun dan segera balik ke Indonesia.
Suami Lestari Rahayu ini dikenal sangat kritis. Baik semasa berprofesi dosen dan birokrat maupun saat menjadi anggota legislatif. Kritik-kritiknya tajam dan keras. Ia pun dikenal sebagai seorang yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya. Ia tinggal di sebuah rumah di kompleks perumahan dosen Universitas Airlangga, Jalan Darmahusada III. Rumah itu sendiri jauh dari kesan mewah. Perabotannya biasa saja. Misalnya, sofa di ruang tamunya bukanlah dari jenis sofa berharga ratusan ribu rupiah. Sehari-hari, untuk mendukung kegiatannya, ia mengendarai mobil Kijang.
Kesederhanaan ini tidak berubah saat ia menjadi anggota DPR dari PDIP pada zaman reformasi yang masih kental praktek korupsi ini. Saat beberapa rekannya, setelah menjadi anggota DPR, tiba-tiba menjadi mewah dengan mobil-mobil mewah. Sahetapy justru masih kerap jalan kaki dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR.
Ia berharap semoga para politisi bermoral dan santun meskipun dalam jumlah kecil dewasa ini, tetap terpanggil akan gejolak hati nuraninya. Semua hendaknya benar-benar sadar, "The things that will destroy us are: politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, business without morality, science without humanity, and worship without sacrifice". Tidaklah berkelebihan kalau dikatakan lagi bahwa politik tanpa moral atau etika akan menjerumuskan bangsa ini.
Tapi ketika masih kecil, Sahetapy sudah harus menghadapi masalah pelik. Kedua orang tua yang dicintainya harus berpisah. Pasalnya, ayahnya suka main judi, ibunya minta cerai akibat tidak tahan menanggung beban. Kemudian sang ibu, Nona C.A. Tomasowa, menikah lagi dengan W.A. Lokollo setelah berpisah ± 12 tahun dengan suaminya. Namun demikian, Sahetapy kecil selalu rajin belajar. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar yang didirikan ibunya sendiri yakni Particuliere Saparuasche School. Dari ibunya yang sekaligus gurunya itulah Sahetapy banyak belajar nasionalisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Tapi akibat meletusnya perang pada tahun 1942, sekolahnya sempat terputus menjelang akhir kelulusannya. Empat tahun berikutnya, 1947, barulah ia kembali ke sekolah sampai lulus Sekolah Dasar. Lalu ia pun masuk SM dengan kurikulum 4 tahun. Menjelang lulus, peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan) meledak. Akhirnya Sahetapy pindah ke Surabaya, bergabung dengan kakaknya, A.J. Tuhusula-Sahetapy. Di kota Pahlawan itulah ia menamatkan SMA.
Setamat SMA, sebenarnya ia tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Namun ibunya tidak sependapat. Selain itu, ada pula yang menawarinya masuk sekolah pendeta, tapi ibu pun tidak setuju. Akhirnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya (yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Airlangga).
Semasa kuliah, Sahetapy termasuk mahasiswa yang cerdas. Ia juga menguasai bahasa Belanda. Tak heran bila kemudian ia dipercaya menjadi asisten dosen untuk matakuliah hukum perdata di fakultasnya. Kepercayaan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga ketika itu Profesor Gondo-wardoyo, tidak hanya sampai di situ. Bahkan begitu Sahetapy lulus kuliah, ia ditawari kuliah di Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Ia pun menyelesaikan studinya di AS dalam dua tahun dan segera balik ke Indonesia.
Suami Lestari Rahayu ini dikenal sangat kritis. Baik semasa berprofesi dosen dan birokrat maupun saat menjadi anggota legislatif. Kritik-kritiknya tajam dan keras. Ia pun dikenal sebagai seorang yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya. Ia tinggal di sebuah rumah di kompleks perumahan dosen Universitas Airlangga, Jalan Darmahusada III. Rumah itu sendiri jauh dari kesan mewah. Perabotannya biasa saja. Misalnya, sofa di ruang tamunya bukanlah dari jenis sofa berharga ratusan ribu rupiah. Sehari-hari, untuk mendukung kegiatannya, ia mengendarai mobil Kijang.
Kesederhanaan ini tidak berubah saat ia menjadi anggota DPR dari PDIP pada zaman reformasi yang masih kental praktek korupsi ini. Saat beberapa rekannya, setelah menjadi anggota DPR, tiba-tiba menjadi mewah dengan mobil-mobil mewah. Sahetapy justru masih kerap jalan kaki dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR.
Ia berharap semoga para politisi bermoral dan santun meskipun dalam jumlah kecil dewasa ini, tetap terpanggil akan gejolak hati nuraninya. Semua hendaknya benar-benar sadar, "The things that will destroy us are: politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, business without morality, science without humanity, and worship without sacrifice". Tidaklah berkelebihan kalau dikatakan lagi bahwa politik tanpa moral atau etika akan menjerumuskan bangsa ini.
~ Jawaban.com ~