PERJALANAN MENUJU DIVA
Kisah Ruth Sahanaya: Kalau tidak jadi penyanyi, profesi apa yang paling pas buat Ruth Sahanaya? "Jadi pelawak...!" kata orang-orang terdekatnya yakin. Anda jangan kaget dulu. Pasalnya, menurut mereka, selain sehari-hari selalu rame, si Uthe ini juga ‘gudangnya' cerita lucu.
"Uthe, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Alfares Edward Sahanaya dan Matheda David yang berdarah Ambon dan Sangir Talaud ini, tertawa lepas menanggapi komentar para sahabatnya itu. Wanita kelahiran Bandung, 1 September 1966, ini mengakui sejak kecil ia memang periang. Mungkin, karena masa kecilnya sarat dengan kasih sayang dan kenangan berkesan.
SI JAIL YANG TUKANG TIDUR
Lulus dari TK dan SD St Paulus III, Bandung, Uthe melanjutkan ke SMP Bahureksa, juga di Bandung. Hampir setiap hari ia datang terlambat ke sekolah. Namun, hampir setiap hari pula ia pulang lebih awal. Kok, bisa begitu?
Usut punya usut, ternyata Uthe memang hobi banget... tidur! Kalau sudah berbaring di ranjang, ia malas bangun. Dan, kalau matanya sudah ketap-ketip mengantuk, apa pun tak bisa menghalanginya untuk segera berlayar ke ‘pulau kapuk' alias tempat tidur. Itulah yang membuatnya sering kali telat ke sekolah, atau sebaliknya, cepat-cepat pulang dari sekolah karena mengantuk! Bahkan, saking doyan tidur, Uthe tidak segan-segan tidur di kelas. "Pernah, saya menyogok penjaga sekolah untuk membukakan pintu gerbang sekolah agar saya bisa kabur pulang ke rumah," kisah Uthe, tertawa renyah. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk tidur!
Ketika duduk di bangku SMA (di SMAK Dago) dan beranjak remaja, keisengan Uthe sama sekali tidak berkurang. Seorang ibu guru SMA-nya di kelas satu, mendadak berteriak superkencang ketika membuka kotak tempat menyimpan kapur tulis. Apa pasal? Rupanya, Uthe jail menaruh kodok di dalamnya!
SUARANYA MEMANG INDAH
Kalau sekarang Uthe menjelma jadi seorang penyanyi kawakan, rasanya hal itu tidak aneh. Soalnya, sejak masih duduk di TK pun, ia sudah berani ‘tarik suara' di muka umum. Ia memang berasal dari keluarga yang gemar menyanyi. Baik di rumah maupun di gereja, si bungsu ini terbiasa mendengarkan nada-nada musik. Dua kakak perempuannya, Biche dan Ita, tak kalah merdu suaranya. Begitu pula Sam, kakak laki-laki Uthe, yang meninggal karena kanker di usia 9 tahun. Diiringi gitar sang ayah, serta ditimpali suara indah sang ibu, lengkaplah vokal grup keluarga Sahanaya.
Hasilnya memang tak sia-sia. Uthe berhasil menyabet Juara I Pop Singer Bandung Raya. Selanjutnya, pada tahun yang sama, berturut-turut ia meraih kemenangan sebagai Runner Up Pop Singer se-Jawa Barat, Runner Up Bintang Radio & Televisi se-Bandung, Juara I Bintang Radio & Televisi se-Jawa Barat, serta Runner up Bintang Radio & Televisi Tingkat Nasional. Maka, makin yakinlah dara bersuara emas ini akan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya.
DIDIKAN KELUARGA
Bagi Uthe, orang tua adalah segalanya. Panutan, pelindung, sekaligus penyuluh semangat kehidupannya. Walaupun ayahnya, A.E. Sahanaya, bukan tergolong the haves - hanya seorang pensiunan pegawai Departemen Dalam Negeri di Bandung - Ruth dan saudara-saudaranya hidup sangat berbahagia layaknya kisah-kisah keluarga harmonis. "Seingat saya, sepanjang pernikahan orang tua saya, tidak pernah sekali pun mereka bertengkar di depan anak-anaknya," cetus Uthe, bangga.
Selain sikap moderat, terbuka, dan disiplin diri yang diterapkan dalam keluarganya, Uthe sangat terkesan pada dasar keimanan orang tuanya. "Setiap hari Papi dan Mami berdoa untuk anak-anaknya. Kami semua, diajarkan untuk selalu bersyukur atas karunia-Nya dalam keadaan susah maupun senang...."
Di mata Uthe, ayah dan ibunya juga selalu bersikap adil terhadap semua anaknya. Meski anak bungsu, kalau melanggar aturan, Uthe tak luput menjalani hukuman. Ibunda Uthe sangat mementingkan tata krama. Bersikap santun dan hormat kepada orang yang lebih tua adalah amanat sang ibu yang tak pernah bisa ia lupakan. "Selain itu, Mami cerewet sekali dalam berbusana. Kelas lima SD, saya diharuskan pakai kaus singlet karena payudara saya mulai tumbuh. Tank top? No way! Mami bisa merepet seharian. Mami juga orangnya rapi, tak segan-segan mencuci dan menyetrika sendiri baju seragam dan pakaian tertentu anak-anaknya. Rupanya kebiasaan ini menurun kepada saya...."
Namun, karena merasa kariernya di dunia musik baru ‘seumur jagung', Uthe tak mau berhenti belajar. Selain banyak berdiskusi dengan keluarga maupun teman-teman dekatnya, Uthe pun tak segan bertanya dan menimba pengalaman dari penyanyi senior yang dikaguminya, yaitu Vina Panduwinata dan Harvey Malaiholo. "Maklumlah, waktu itu saya kan masih malu-maluin," ungkap Uthe, jujur.
Tak jarang, ia pun merasa minder karena memiliki tubuh yang mungil, dengan berat badan sekitar 43 kg dan tinggi ‘hanya' 153 cm. Itu sebabnya, ia kerap merasa ‘tenggelam' tatkala sedang beraksi di panggung yang luas dan disaksikan ribuan pasang mata. "Waduh, groginya minta ampun! Apalagi saat manggung pertama kali. Bahkan, jujur saja, sampai sekarang pun saya masih sering berkeringat dingin ketika harus tampil menyanyi," kata Uthe, tersenyum.
MENAPAK KE PUNCAK
Tahun 1989 seolah menjadi milik Uthe. Ia terpilih sebagai penyanyi rekaman terbaik versi BASF. Dua piala sekaligus ia dapatkan. Album kaset Tak Kuduga meraup penjualan terlaris untuk kategori musik pop kreatif, sedangkan album Amburadul untuk kategori musik pop disko.
Jalan emas mulai terbentang lebar di hadapannya. Jerih payahnya selama ini wira-wiri di berbagai pub jazz di kota kelahirannya, terbayar sudah. Kancah musik pop Indonesia pun makin berwarna dengan kehadiran Uthe. Vokalnya yang berpower tinggi menjadi ciri khasnya. Lita Zein, yang juga berkecimpung di dunia yang sama, dengan tulus berucap, "Sebagai penyanyi, Uthe memiliki bakat alami yang luar biasa. Sampai sekarang pun saya masih terus terpukau pada kekuatan talenta yang dimiliknya."
Apakah semua keberhasilan itu membuat Uthe berubah? Ah, syukurlah, menurut orang-orang terdekatnya, Uthe ternyata masih seperti yang dulu. Penuh perhatian, selalu hormat dan santun kepada orang yang lebih tua, senang memberi, dan tetap senang melawak. Bahkan, kepada beberapa teman terdekatnya, Uthe senantiasa berpesan, "Kalau gue mulai sombong, tolong diingetin, ya?"
"Uthe, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Alfares Edward Sahanaya dan Matheda David yang berdarah Ambon dan Sangir Talaud ini, tertawa lepas menanggapi komentar para sahabatnya itu. Wanita kelahiran Bandung, 1 September 1966, ini mengakui sejak kecil ia memang periang. Mungkin, karena masa kecilnya sarat dengan kasih sayang dan kenangan berkesan.
SI JAIL YANG TUKANG TIDUR
Lulus dari TK dan SD St Paulus III, Bandung, Uthe melanjutkan ke SMP Bahureksa, juga di Bandung. Hampir setiap hari ia datang terlambat ke sekolah. Namun, hampir setiap hari pula ia pulang lebih awal. Kok, bisa begitu?
Usut punya usut, ternyata Uthe memang hobi banget... tidur! Kalau sudah berbaring di ranjang, ia malas bangun. Dan, kalau matanya sudah ketap-ketip mengantuk, apa pun tak bisa menghalanginya untuk segera berlayar ke ‘pulau kapuk' alias tempat tidur. Itulah yang membuatnya sering kali telat ke sekolah, atau sebaliknya, cepat-cepat pulang dari sekolah karena mengantuk! Bahkan, saking doyan tidur, Uthe tidak segan-segan tidur di kelas. "Pernah, saya menyogok penjaga sekolah untuk membukakan pintu gerbang sekolah agar saya bisa kabur pulang ke rumah," kisah Uthe, tertawa renyah. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk tidur!
Ketika duduk di bangku SMA (di SMAK Dago) dan beranjak remaja, keisengan Uthe sama sekali tidak berkurang. Seorang ibu guru SMA-nya di kelas satu, mendadak berteriak superkencang ketika membuka kotak tempat menyimpan kapur tulis. Apa pasal? Rupanya, Uthe jail menaruh kodok di dalamnya!
SUARANYA MEMANG INDAH
Kalau sekarang Uthe menjelma jadi seorang penyanyi kawakan, rasanya hal itu tidak aneh. Soalnya, sejak masih duduk di TK pun, ia sudah berani ‘tarik suara' di muka umum. Ia memang berasal dari keluarga yang gemar menyanyi. Baik di rumah maupun di gereja, si bungsu ini terbiasa mendengarkan nada-nada musik. Dua kakak perempuannya, Biche dan Ita, tak kalah merdu suaranya. Begitu pula Sam, kakak laki-laki Uthe, yang meninggal karena kanker di usia 9 tahun. Diiringi gitar sang ayah, serta ditimpali suara indah sang ibu, lengkaplah vokal grup keluarga Sahanaya.
Hasilnya memang tak sia-sia. Uthe berhasil menyabet Juara I Pop Singer Bandung Raya. Selanjutnya, pada tahun yang sama, berturut-turut ia meraih kemenangan sebagai Runner Up Pop Singer se-Jawa Barat, Runner Up Bintang Radio & Televisi se-Bandung, Juara I Bintang Radio & Televisi se-Jawa Barat, serta Runner up Bintang Radio & Televisi Tingkat Nasional. Maka, makin yakinlah dara bersuara emas ini akan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya.
DIDIKAN KELUARGA
Bagi Uthe, orang tua adalah segalanya. Panutan, pelindung, sekaligus penyuluh semangat kehidupannya. Walaupun ayahnya, A.E. Sahanaya, bukan tergolong the haves - hanya seorang pensiunan pegawai Departemen Dalam Negeri di Bandung - Ruth dan saudara-saudaranya hidup sangat berbahagia layaknya kisah-kisah keluarga harmonis. "Seingat saya, sepanjang pernikahan orang tua saya, tidak pernah sekali pun mereka bertengkar di depan anak-anaknya," cetus Uthe, bangga.
Selain sikap moderat, terbuka, dan disiplin diri yang diterapkan dalam keluarganya, Uthe sangat terkesan pada dasar keimanan orang tuanya. "Setiap hari Papi dan Mami berdoa untuk anak-anaknya. Kami semua, diajarkan untuk selalu bersyukur atas karunia-Nya dalam keadaan susah maupun senang...."
Di mata Uthe, ayah dan ibunya juga selalu bersikap adil terhadap semua anaknya. Meski anak bungsu, kalau melanggar aturan, Uthe tak luput menjalani hukuman. Ibunda Uthe sangat mementingkan tata krama. Bersikap santun dan hormat kepada orang yang lebih tua adalah amanat sang ibu yang tak pernah bisa ia lupakan. "Selain itu, Mami cerewet sekali dalam berbusana. Kelas lima SD, saya diharuskan pakai kaus singlet karena payudara saya mulai tumbuh. Tank top? No way! Mami bisa merepet seharian. Mami juga orangnya rapi, tak segan-segan mencuci dan menyetrika sendiri baju seragam dan pakaian tertentu anak-anaknya. Rupanya kebiasaan ini menurun kepada saya...."
Namun, karena merasa kariernya di dunia musik baru ‘seumur jagung', Uthe tak mau berhenti belajar. Selain banyak berdiskusi dengan keluarga maupun teman-teman dekatnya, Uthe pun tak segan bertanya dan menimba pengalaman dari penyanyi senior yang dikaguminya, yaitu Vina Panduwinata dan Harvey Malaiholo. "Maklumlah, waktu itu saya kan masih malu-maluin," ungkap Uthe, jujur.
Tak jarang, ia pun merasa minder karena memiliki tubuh yang mungil, dengan berat badan sekitar 43 kg dan tinggi ‘hanya' 153 cm. Itu sebabnya, ia kerap merasa ‘tenggelam' tatkala sedang beraksi di panggung yang luas dan disaksikan ribuan pasang mata. "Waduh, groginya minta ampun! Apalagi saat manggung pertama kali. Bahkan, jujur saja, sampai sekarang pun saya masih sering berkeringat dingin ketika harus tampil menyanyi," kata Uthe, tersenyum.
MENAPAK KE PUNCAK
Tahun 1989 seolah menjadi milik Uthe. Ia terpilih sebagai penyanyi rekaman terbaik versi BASF. Dua piala sekaligus ia dapatkan. Album kaset Tak Kuduga meraup penjualan terlaris untuk kategori musik pop kreatif, sedangkan album Amburadul untuk kategori musik pop disko.
Jalan emas mulai terbentang lebar di hadapannya. Jerih payahnya selama ini wira-wiri di berbagai pub jazz di kota kelahirannya, terbayar sudah. Kancah musik pop Indonesia pun makin berwarna dengan kehadiran Uthe. Vokalnya yang berpower tinggi menjadi ciri khasnya. Lita Zein, yang juga berkecimpung di dunia yang sama, dengan tulus berucap, "Sebagai penyanyi, Uthe memiliki bakat alami yang luar biasa. Sampai sekarang pun saya masih terus terpukau pada kekuatan talenta yang dimiliknya."
Apakah semua keberhasilan itu membuat Uthe berubah? Ah, syukurlah, menurut orang-orang terdekatnya, Uthe ternyata masih seperti yang dulu. Penuh perhatian, selalu hormat dan santun kepada orang yang lebih tua, senang memberi, dan tetap senang melawak. Bahkan, kepada beberapa teman terdekatnya, Uthe senantiasa berpesan, "Kalau gue mulai sombong, tolong diingetin, ya?"
~ Jawaban.com ~