Penutupan Gereja Terjadi Lagi
Peristiwa yang merenggangkan hubungan antar umat beragama kembali terjadi. Kali ini Jemaat Gereja Imanuel Pantekosta Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara dipaksa menghentikan pembangunan rumah ibadah mereka. Bahkan kegiatan menjalankan upacara keagamaan rutin pun sampai dilarang, dengan alasan mayoritas warga beragama Islam. Namun, sebagian warga mensinyalir kejadian itu dipicu oleh desakan kelompok tertentu. Benarkah maraknya intoleransi antar pemeluk agama memang karena faktor keyakinan? Atau hanya disulut oleh kelompok-kelompok tertentu?
Minggu 29 April 2007, di Gereja Pantekosta Jemaat Imanuel Sukapura Cilincing Jakarta Utara. Dua ratusan jemaat bersembahyang melambungkan puji-pujian kepada Tuhan.
Hari itu adalah kebaktian pertama yang digelar jemaat Kristen Pantekosta di calon gereja mereka. Calon gereja, sebab hingga hari itu belum ada bangunan gereja di atas tanah seluas seribu meter itu. Hanya sebuah bedeng berupa tiang-tiang dengan atap seng. Tanpa dinding.
Didatangi
Tapi hari itu mereka tak bisa beribadah nyaman. Belum tuntas semua ritual dilakukan, dua ratusan orang yang mengaku warga sekitar datang. Mereka minta sembahyang dihentikan, juga pembangunan gerejanya.
Warga yang datang mengaku tinggal di sekitar di lingkungan gereja. Ketua RW O8, Kasirin mengatakan warga keberatan dengan gereja itu sebab mayoritas penduduk beragama Islam.
Kasirin:
Warga tetep menolak. Dari pihak gereja kalau izin tidak keluar, dia akan menghentikan aktivitas. Ada RW 08, 07, 06, 04 dan 010. masing-masing RW masih bisa meredam massa. Kalau tidak diredam mungkin bisa terjadi kekerasan
Mereka datang dari berbagai RW di sekitar gereja. Di corong sejumlah masjid, pagi itu juga sempat dikeluarkan ajakan untuk mendatangi gereja.
Haji Jamal, ketua Masjid Baitul Rahim di RW.08 Kelurahan Sukapura.
Jamal:
Kemarin ada himbauan. Itu anak-anak muda. Jadi sebenaranya saya sudah melarang jangan sampai itu. Tahu-tahu kecolongan saya kaerena saya di sana. Sebetulnya kurang tepat karena di sini lingkungannya muslim. 90 persen muslim.
Tetap datang
Upaya menghalangi jemaat Kristen untuk bersembahyang itu telah dilakukan sejak pagi hari. Warga menutup jalan menuju ke gereja. Akibatnya jamaah Kristen terpaksa menyusur lewat jalan setapak di sisi jalan. Ada juga yang nekat melewati bawah tiang portal.
Menurut Samuel E. Repi, salah seorang jemaat, meski dihalangi, para jemaat kristen tetap datang ke gereja mereka. Samuel juga wakil ketua panitia pembangunan gereja
Samuel E. Repi:
Jam 6:35 saya nyampe di depan portal PT Pelindo II yang biasa masuk, jadi ngga bisa masuk karena dipalang beberapa bapak-bapak warga sekitar. Akhirnya lewat jalan setapak. Jam 7:20 jalan setapak juga ditutup, jadi kita harus molos lewat portal bawah. Jadi ibu-ibu pun harus bungkuk. Jam 8 kita ibadah, di portal itu justru sudah berkumpul sekitar 100 orang.
Setelah bersusah payah masuk areal gereja, pagi itu, kebaktian pun dilakukan. Samuel E. Repi berlanjut.
Samuel E. Repi:
Jam 8.15 massa masuk berkumpul di depan bedeng. Jam 8.35 massa sudah berteiak, "hentikan ibadah!" Satu kata, "bongkar! Bakar !" terus mereka memaksa masuk. Terus kita pasang spanduk, spanduk itu mereka paksa turunin. Setelah dituruinin mereka senang.
Anggota jemaat lain, Hana Ciwanggana menceritakan peristiwa pagi itu.
Hana Ciwanggana:
Sampai akhirnya kita harus keluar seperti tawanan (ketawa). Nggak bebas. Kita keluar dalam suasana mencekam. Memang ibadah utamanya sudah selasai. Tapi sebenarnya setelah ibadah itu masih ada acara. Cuma kita tidak bisa teruskan lagi.
Akibat peristiwa itu, Hanna sedih memikirkan keberagamann di tanah air. Sebab ia yakin betul konstitusi Indonesia menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Tanpa dihalangi, apalagi ditindas.
Tak ada bentrok fisik antara jemaat gereja dan para pendemo hari itu. Meski belum selesai, para jemaat terpaksa mengakhiri ibadah. Para pendemo pun berjanji datang lagi ke tempat tersebut jika Minggu besok masih ada sembahyang Kristen di tempat itu.
Persetujuan
Gereja Pantekosta Jemaat Imenuel Sukapura berada di areal tanah milik pelindo II. Tanah itu saat ini masih berupa lahan kosong seluas 35 hekter. Jarak perumahan terdekat dengan gereja tersebut sekitar 500 meter. Sekali lagi, gereja seluas seribu meter itu itu pun sebenarnya belum jadi. Masih berupa bedeng tiang-tiang kayu dan atap seng. Di sekelilingnya ada tembok setinggi satu meter. Ada 400 jemaat kristen di daerah Sukapura yang menggunakan gereja itu.
Syamsyudin, kepala keamanan areal tanah Pelindo II.
Syamsyudin:
35 hektar baru lima. Yang ada duit bangun duluan. Kalau gak ada duit tanahnya tahan duklu. "Mereka karyawan Pelindo semua?" Tanah ini sebagian dijual sama orang luar. Pelindo kayak saya punya, saya jual. Saya oper. Tanahya pelindo tadinya.
Pelindo II masuk ke daerah situ sekitar tahun 2004. Sebelumnya itu adalah tanah kosong. Sementara pihak gereja mengaku sudah memilki tanah itu sejak 1998. Menurut Pendeta Paul E. Repi pihak gereja sudah mendapat persetujuan warga pada tahun 2004 untuk membangun gereja di tempat tersebut.
Paul E. Repi:
Maka kami juga berusaha untuk masuk ke lokasi yang ada sekarang dengan mempersiapkan segala surat yang diperlukan. Planinng, block plan dari tata kota telah kami dapatkan. Terakhir kami buat sertifikat tanah itu atas nama gereja. Lalu kami ajukan permohonan izin prinsip izin gubernur. Berkas kami sudah di Dinas Bintal DKI. Semua persyaratan sudah kami penuhi, termasuk persyaratan SKB/SPB. Kami sertakan KTP 90 dan 60 kami sertakan.
Gereja Kristen Pantekosta sebenarnya sudah 17 tahun berada di wilayah Kelurahan Sukapura, Jakarta Utara. Mula-mula mereka melakukan ibadah di rumah jemaah, bergilir dari satu rumah ke rumah lain. Tapi rupanya warga sekitar tidak suka.
Pindah-pindah
Pendeta Paul bertutur, pada tahun 1991 lalu jemaat Kristen Pantekosta di Sukapura pernah mendapat perlakuan menyakitkan.
Paul E. Repi:
Setelah ibadah di rumah, kami tidak disetujui warga, lalu kami berpindah-pindah. Pada waktu di jalan Semarang kami diserbu juga. Bahkan ada yang dipukul. Kami juga dipukul waktu itu. Akhirnya kami beribadah pindah tempat. Kami di Komplek walikota, juga ribut. Gak boleh katanya di rumah. Jadi sementara ibadah tahun 1992 kami diserbu juga. Lalu kami di jalan Kakak Tua. Tahun 1993 ada ribut lagi nggak setuju.
Sejak itulah mereka berpikir akan membangun gereja sendiri. Baru pada tahun 1997, mereka mendapat pinjaman tempat dari sebuah perusahaan. Di situlah kemudian dilaksanakan kebaktian setiap hari Minggu. Pinjaman yang semula diberikan untuk satu tahun, memanjang hingga 10 tahun. Selama itu tak ada konflik dengan warga. Bukan cuma itu, para jamaah Kristen pun berbaur dengan warga sekitar. Di hari Raya Iedul Fitri, misalnya, warga Kristen ikut menjaga wilayah yang banyak ditinggal mudik penghuninya.
Samuel E Repi, salah seorang jemaah.
Samuel E. Repi:
Kami di sini berada dalam kejelasan selama 17 tahun, kami diterima baik, waktu ketika kami berada di bedeng sementara di RW 07 kami diterima dengan sangat baik kami memberi mereka memberi, apalagi Idul Fitri kita memberi karena rata-rata pendatang pada pulang kampung kita jaga Sukapura ini, karena yang ada di sini kita sudah urus semua sesuai SKB 2 menteri.
Adanya kebersamaan itu juga diakui oleh Suwantoro, ketua RW 07 Kelurahan Sukapura.
Suwantoro:
Setiap hari raya Iedul Fitri kita adakan saling menjaga lingkungan. Nanti pas Natal muslim jaga. Itu memang sudah berapa priode kita lakukan.
Pada 15 April 2007 kemarin, mereka terpaksa keluar dari gereja pinjaman itu karena pemilik tempat hendak menjualnya. Maka para jemaah pun sepakat memindahkan gereja mereka ke lahan baru yang telah mereka beli 10 tahun lalu itu. Tapi ternyata mereka ditolak warga.
Mayoritas muslim
Kasirin, ketua RW 08, bahkan mengumpulkan tanda tangan penolakan warganya. Alasan mereka, para pemilik kapling di lahan kosong milik Pelindo II itu mayoritas muslim..
Kasirin:
Warga keberatan karena di sekitar gereja penduduknya muslim. Spontanitas saja. Begitu ada gereja kan baru semingguan. Jadi hari Sabtu, hari Minggu mau dipake perdana. Lingkungan gereja kan masih banyak tanah kosong jadi pagi-pagi buat oleh warga sekitar sehinga bisa melihat langsung kegiatan itu.
Alasan yang lebih aneh dikemukakan oleh Haji Jamal, ketua Masjid Baitul Rahim. Katanya warga pemilik kapling khawatir gereja bisa membuat harga tanah di daerah itu turun.
Jamal:
Di samping secara ekonomi nanti jadi jatuh harganya. Secara ekonomi harga tanah mungkin orang-orang sebelahnya muslim semua, jadi orang gak ada yang mau beli kalau kita jual. "Hubungannya sama gereja?" Berisik kalau kita tempatin. Terus kalau kita jual mungkin nilainya jadi jatuh karena kalau yang beli muslim, ah nggak jadi ah. Secara pribadi saya punya kekhawatran seperti itu.
Haji Jamal punya kapling tanah di situ. Ia bukan karryawan Pelindo. Ia membelinya dari salah seorang karyawan.
Tidak ada konflik
Lurah Sukapura, Jakarta Utara, Ade Himawan menolak jika dikatakan sudah ada konflik antara warga dengan para jamaah gereja Pantekosta Sukapura. Menurut dia keberatan warga semata karena belum adanya izin yang dipenuhi pihak gereja.
Ade Himawan:
Pada prinsipnya pemerintah, terutama aparat yang di bawah sebagai pelaksana, tidak melarang siapapun, umat beragama apapun untuk melaksanakan ibadah. Namun, dalam ibadah itu ada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan yang ada. Termasuk dalam hal perijinannya.
Ade Himawan membantah terjadi pengekangan dalam menjalankan ibadah terhadap agama tertentu didaerahnya. Dia berharap, masyarakat dapat menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya tanpa dikekang oleh masyarakat atau kelompok lain.
HAM
Harapan itu juga disampaikan Pendeta Paul Repi. Paul mengaku, jemaah kristen di Sukapura tidak meminta yang berlebihan. Mereka hanya minta dibolehkan membangun tempat di mana mereka bertemu Tuhan.
Paul E. Repi:
Apakah kami tidak bisa hidup di negeri ini? Apakah kalau memang mesti dibelah ya sudah stop NKRI. Kami diusir masuk Indonesia Timur. Saya pulang ke Manado. Lo yang Batak pulang. Kita tak perlu lagi bicara NKRI atau demokrasi. Berarti seolah-olah tanah ini punya sekelompok orang yang mengatakan saya mayoritas dan saya yang punya kuasa di sini. Ini masalah hakiki. Ini hak azasi manusia. Kita mungkin, pakaian boleh kita bisa tahan tak enam bulan sampai satu tahun. Tapi kalau kita tidak dikasih makanan rohani, 400 orang kalau dia jadi liar seperti Noordin M Topp, saya kira jadi geger Jakarta. Saya punya kewajiban menjaga moral umat.
Konstitusi Indonesia, sampai sat ini masih menjamin hak setiap warga negara memeluk dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Karena itu, mestinya pelarangan pembangunan rumah ibadah tidak boleh terjadi.
sumber: ranesi
~ Salib.neet ~